Semesta adalah akuarium kata-kata dan kita adalah ikan-ikannya....

Sabtu, 04 Oktober 2025

Lamunan Sepi Annisa

Kelopak mata Anissa menyipit. Sosok tegap Ryan merampas fokusnya pada buku fisika di pangkuannya. Bagai di bawah kuasa hipnotis, ia mengikuti langkah tegap Ryan dari balik jendela perpustakaan. Ia tertegun. Jantungnya berdegub tak menentu. Beberapa detik setelahnya Anissa tersentak, lalu dengan sekuat tenaga ia menindih perasaan aneh yang menggelitiki hatinya.

"Ciee, yang lagi curi-curi pandang. Suka yaa?"

Satu suara mengagetkannya. Anissa menoleh. Ia tersenyum kecut lantas cepat menggeleng. "Nggaklah, Rey. Aku nggak suka sama Ryan."

"Jujur aja, Nis."  Pemilik suara itu adalah Kirey, teman sebangku, sekaligus sahabatnya. "Aku tahu kamu naksir Ryan."

Anissa mengatupkan bukunya. Fokusnya untuk membaca materi fisika buyar oleh perkataan Kirey. Ekor matanya sesekali masih memerhatikan Ryan yang tampak sedang bercanda dengan Nadine di koridor.

Kirey setengah berbisik saat mengucapkan kalimat tadi. Namun kalimat pendek itu sukses membuat wajah Anissa bersemu merah. Ia memandang mata Kirey dengan tatapan berisi permohonan agar apa yang ia ketahui tidak menyebar ke seisi perpustakaan. Anissa malu jika apa yang dikatakan Kirey didengar semua orang.

“Kamu pasti bisa jadi pacarnya." Kirey menepuk pundak Anissa, lalu kembali melanjutkan bacaannya.

Mereka tahu, berbincang di ruang perpustakaan itu mengganggu orang lain yang sedang asyik dengan bacaannya, karena itulah percakapan tentang Ryan pun berakhir begitu saja.

Anissa menghela napas lesu. Tadinya ia sama sekali tak peduli, bahkan tak pernah berpikiran untuk menyukai Ryan, apalagi sampai jatuh cinta pada cowok jago basket itu. Tapi, semakin ia mengingkari perasaannya, semakin kuat saja bayang-bayang Ryan menyesaki hatinya.

Jemari Anissa menyentuh buku dan membukanya lagi. Ia menunduk dan mencoba mengembalikan fokusnya. Namun sosok Ryan justru membawa pikirannya ke mana-mana. Cowok idola sekolah itu telah menanamkan semacam racun ke benaknya. Senyum yang sering dilemparkan Ryan padanya beberapa hari terakhir, membuat ia berpikiran macam-macam. Mungkinkah Ryan menaruh hati padanya?

Tidak! Satu sisi dalam dirinya menolak pertanyaan yang lebih mirip pernyataan itu. Namun, muncul suara lain yang berkata sebaliknya. Ryan memang cowok yang tidak hanya menarik, namun juga memiliki hati yang baik. Setidaknya itu ia buktikan sendiri, saat beberapa minggu yang lalu, secara tak sengaja ia melihat Ryan membantu seorang lelaki buta yang hendak menyeberang jalan.

Kejadian itu membuat Anissa tanpa sadar sering mencuri-curi pandang pada Ryan. Perasaan itu semakin menguat, mana kala pada beberapa moment yang tak disengaja, mata mereka beradu. Ryan melempar senyum yang membekas di hati Anissa. Senyum yang menjadi bibit bunga yang mekar perlahan. Senyum yang membuatnya sering melamun.
***

Baca juga: Rumah Bulan

Jam istirahat sekolah ditandai dengan bunyi bell memanjang. Anissa berjalan di koridor di antara keriuhan siswa yang berebut keluar kelas. Seperti biasa, pada jam istirahat seperti itu, Anissa menuju perpustakaan. Ia akan menghabiskan waktu istirahatnya sambil membaca buku-buku di sanakadang-kadang ditemani Kirey.

Setelah mengambil buku di salah satu rak, Anissa duduk di kursi pembaca di sudut perpustakaan, agak dekat dengan jendela. Ketika sedang asyik menekuri bukunya. Seseorang menarik kursi dan mendekat. Anissa menoleh dan sontak tertegun, mata elang dan wajah tersenyum itu memberi sapaan lembut padanya.

“Aku nggak ganggu, kan?"

Anissa menggeleng, ia salah tingkah. Sekarang Ryan sudah berada di sampingnya. Kehadiran cowok itu membuat perasaannya berdenyar aneh.
Ryan duduk diam sambil membolak-balikkan lembaran buku di tangannya. Keduanya sama-sama terdiam seperti tenggelam dengan bacaan masing-masing. Tetapi tidak dengan Anisa. Sebenarnya gadis itu sedang sibuk meredam badai yang berkecamuk tak menentu di hatinya.

"Kamu selalu di sini saat istirahat?" tanya Ryan tiba-tiba.

"Eh, apa?" Anissa mengangkat wajahnya, lalu cepat-cepat menunduk. Ia gugup.

Ryan mengulang pertanyaannya. "Kamu selalu di sini saat istirahat?"

"Kenapa?" Anissa menjawab, namun tatapan matanya melekat pada lembar buku yang ia baca. Ia tak berani menatap mata Ryan.

"Aku tidak pernah menemukanmu di kantin."

Gadis manis berlesung pipit itu tertawa lirih, meski kedengarannya sumbang. "Aku tidak begitu suka," sahutnya alih-alih mengatakan tidak pernah punya uang saku untuk menghabiskan jam istirahat sembari makan-makan di kantin sekolah seperti siswa-siswa lain.

"Asyik dong kalau jadi pacarmu," ujar Ryan diakhiri tawa lembut. Entah kata-kata cowok itu berisi pujian atau justru olokan. Tapi yang pasti, saat itu wajah Anissa merah merona. Ia menunduk kian dalam, membiarkan rambut panjangnya luruh, menutupi raut wajahnya yang tersipu malu.
***


“Anissa!"

Gadis berambut panjang sepundak itu menoleh, memperlambat langkahnya. Ryan menyusul dengan sepeda motor dari arah belakang. Cowok itu memperlambat laju motor bebeknya, hingga perlahan bersisian dengan langkah Anissa.

"Aku antar ya?”

Anissa mengangkat alis. Ia bimbang, antara mengiyakan atau justru menolak tawaran Ryan. Kehadiran cowok itu membuat perasaannya campur aduk; antara senang dan gamang. Selama ini tak ada cowok yang mengantarnya pulang. Biasanya setiap pulang sekolah, Anissa bersama Kirey, tapi hari ini Kirey tidak masuk sekolah dan Anissa pulang sendirian.

"Hei, kok malah ngelamun?" sergah Ryan membuyarkan lamunan Anissa.

Gadis itu geragapan, "Eng ... nggak usah, Ryan. Terima kasih," jawab Anissa sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Ia melanjutkan langkahnya, Ryan mengikutinya.

Lampu lalu lintas di pertigaan depan menyala merah. Anissa bernapas lega, sebab itu artinya Ryan tidak bisa menyejeri langkahnya. Cowok itu terpaksa menghentikan motornya. Anissa mengangguk pelan pada Ryan dan melanjutkan langkah.

"Anissa! Aku boleh main ke rumahmu?"

Anissa menghentikan langkah. Menoleh pada cowok yang selama ini sukses menyandera lamunannya. Ia bingung harus menjawab apa. Jika menolak, ia takut Ryan akan menilai dirinya cewek yang angkuh, tapi memenuhi permintaan cowok itu, ia ragu. Jauh di lubuk hati Anissa terbersit keinginan untuk merasakan bagaimana indahnya masa remaja. Duduk berdua bersama cowok dan bercanda sembari berbagi cerita.

"Bolehkan?" seru Ryan dan suaranya membuat Anissa tersentak.

"Kapan?" tanya Anissa kemudian.

"Nanti malam.”

"Malam Minggu?" nada suara Anissa agak tercekat. Selama ini tidak pernah sekalipun ia menghabiskan malam Minggu bersama teman, apalagi teman cowok, tak mungkin ibunya mengizinkan. Lagipula, tak ada arti spesial bagi Anissa untuk sebuah malam Minggu.

"Maaf, aku nggak bisa.”

"Kenapa?" tanya Ryan dengan kening mengerut.

Anissa menggigit bibir. Ia merasa tak perlu menjelaskan bahwa tak ada  malam tanpa jadwal belajar baginya, tak terkecuali malam Minggu. Ia juga merasa tak perlu menjelaskan jika tiap malam Minggu ia harus menyiapkan materi untuk memberikan les privat untuk anak-anak sekitar rumahnya, bahkan di hari Minggu pun ia harus membantu ibunya berjualan. Ia tak perlu menjelaskan hal itu pada Ryan.

"Ya sudah kalau begitu, nggak apa-apa kok," jawab Ryan sambil tersenyum. "Aku balik duluan ya, Nis. Sampai ketemu hari Senin."

Cowok itu memacu motornya meninggalkan Anissa berdiri di tepi jalan. Hati gadis itu bergemuruh. Haruskah ia menyesali apa yang baru saja ia katakan? Ia baru saja menolak ajakan kencan dari seorang cowok paling dipuja di sekolahnya. Bodohkah itu? Atau justru sikapnya adalah tindakan yang benar? Anissa betul-betul bingung dengan perasaannya sendiri.
***
Baca juga: Rumah Kenangan Ibu


Mangkuk bakso yang dicuci Anissa hampir saja jatuh, kalau di sampingnya tidak ada ibu. Pengunjung warung bakso sedang ramai-ramainya dan membuat ibunya sedikit kerepotan. Tugas Anissa mencuci mangkuk-mangkuk kotor seperti biasa, tapi kali ini ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Wajah Ryan terus hadir di benaknya, berkali-kali ia usir, berkali-kali pula mengganggunya.

"Ibu perhatikan, akhir-akhir ini kamu sering melamun, ada apa, Nis?" Ibu memandang wajahnya sesaat.

"Eng ... nggak kok, Bu, nggak ada apa-apa," jawab Anissa tersendat. Ia meneruskan pekerjaannya, masih ada beberapa mangkuk kotor yang harus segera ia cuci.

"Kamu jangan sering melamunkan hal-hal yang ndak penting, Anissa. Melayani pelanggan itu butuh ketelitian, kamu tentu nggak mau kan warung peninggalan bapak ini jadi kehilangan pelanggan gara-gara kamu salah meracik bumbu?" Ibu mengatakan itu tidak dengan nada tinggi, tapi Anisa bisa merasakan kekesalan yang terpendam di hati ibu. Anissa menunduk. Ia tak bisa menjawab apa-apa.

Anissa ingat peristiwa tiga tahun yang lalu. Hari masih sore saat sirine ambulance meraung-raung memasuki gang sempit di depan rumah. Anissa tak pernah menyangka jika sore itu adalah sore terakhir ia melihat wajah bapak. Seorang lelaki dengan seragam polisi mengatakan bapaknya ditabrak angkot dan pelakunya sudah diamankan.

Bapak meninggal tanpa mewariskan harta yang cukup untuk anak-anaknya. Setelah meninggalnya bapak, otomatis ekonomi keluarga ditanggung oleh ibu. Keluarga penabrak bapak memang bertanggung jawab dan memberikan uang bela sungkawa tapi jumlahnya tak seberapa. Mereka ternyata orang tidak berada. Penabrak bapaknya seorang sopir angkot, penghasilannya tentu tak jauh dengan bapak yang seorang penjual bakso.

Ibu sudah merelakan kepergian bapak, begitupun dengan Anissa, ia sudah mengikhlaskan kepergian bapak sebagai takdir yang harus ia terima. Tapi sejak kepergian Bapak, Anissa tidak yakin bisa meneruskan sekolahnya. Melihat warung bakso peninggalan bapak yang kadang ramai dan kadang sepi, membuat Anissa pesimis bisa merintis cita-citanya.

"Kamu harapan Ibu, Nis. Kamu harus sekolah tinggi, agar bisa bekerja dan membiayai sekolah adik-adikmu." Ibu melanjutkan kalimatnya, "kamu harus sungguh-sungguh dengan sekolahmu. Jika kamu bisa mempertahankan beasiswamu, Ibu bisa menyisihkan uang untuk tabungan atau keperluan sekolah adik-adikmu."

Ibu adalah sumber semangat Anissa. Ia giat belajar dan membantu Ibu berjualan di sela waktunya. Terkadang tetangga-tetangganya memintanya memberi les privat untuk anak-anaknya dan memberi upah sekadarnya. Lecutan semangat itu membuahkan prestasi. Anissa lulus dengan nilai tertinggi dan dengan nilai itu ia mendapat beasiswa di sekolah. Beban ibu dan keraguannya menjadi berkurang.
Kemudian, dengan segunung harapan Ibu kepadanya, rasanya tak sepantasnya ia membuang waktunya hanya untuk melamunkan sosok Ryan. Anissa ingin menepisnya, tapi ia masih belum bisa.
***


Angin menerbangkan selembar daun angsana dan jatuh tepat di pangkuan Anissa. Jam istirahat kali ini, ia mengajak Kirey ke tepi kolam dekat taman sekolah. Ia ingin mencurahkan isi hatinya di tempat sunyi itu. 

"Mungkin kamu benar, Rey. Aku sedang jatuh cinta."

"Sekarang kalian bahkan terlihat semakin akrab.”

Anissa mengangguk. Memang, sejak perbincangan di perpustakaan tempo hari, Ryan semakin akrab dengannya.

"Menurutmu, apakah itu berarti Ryan juga memiliki perasaan yang sama?"

Kirey memetik selembar daun bougenville yang tumbuh tak jauh dari kursi yang mereka duduki, lalu merobek daun itu menjadi dua. "Bisa ya, bisa juga tidak," jawabnya mengangkat bahu.

Anissa tidak puas dengan jawaban itu. Tapi Kirey berkilah bahwa ia pun susah memahami pikiran dan tingkah laku Ryan. Seperti yang sama-sama mereka ketahui, teman-teman mereka banyak yang mengharap perhatian Ryan dan perhatian cowok itu juga bukan untuk Anissa sajawalau untuk beberapa hari ini Anissa dan Ryan terlihat sangat akrab.

“Begitu pentingkah Ryan bagimu?" tanya Kirey tiba-tiba.

Anissa tak siap ditanya seperti itu. "Maksudmu...."

Kirey menghela napasnya. "Kamu pernah bilang nggak suka, tapi di sisi yang lain sepertinya kamu sedang berharap, Nis.”

"Entahlah, Rey," desah Anissa. "Mulanya aku nggak pernah menyukai cowok di sekolah ini. Tapi pada Ryan, aku nggak bisa mengelak ... aku ... aku mungkin berharap padanya, Rey ...."

Angin bertiup sepoi-sepoi. Permukaan kolam berdesir, sehelai daun angsana terjatuh di ujung kaki Anissa. Gadis itu kembali hanyut dalam lamunannya.
***


Bu Dahlia memandang Anissa lembut. Guru konseling itu memanggil Anissa terkait dengan penurunan nilai gadis itu di ujian-ujian harian beberapa minggu terakhir. Anissa menunduk, menekuri deretan angka-angka di buku rapornya. Mata Anissa berembun, seperti ada yang hilang di jiwanya.

"Ibu yakin, kamu sadar benar bahwa pemberian beasiswa dari yayasan terkait nilai yang kamu capai tiap tahun. Jika nilaimu tidak memenuhi syarat, beasiswa terpaksa dialihkan untuk siswa lain," ingat Bu Dahlia.

Anissa tertunduk pasrah.

"Ya, Bu."

"Kamu punya masalah?"

Anissa memilin ujung baju seragamnya. Tak tahu harus menjawab apa. 

“Kamu sedang jatuh cinta?" Pertanyaan itu membuat Anissa menunduk kian dalam. Bu Dahlia tersenyum. "Anissa, remaja seusiamu wajar jika merasa jatuh cinta. Ibu sangat mengerti. Tapi Nis, tidak selayaknya kita mengorbankan masa depan hanya karena cinta. Sering kali perasaan itu cuma gejolak sementara yang bisa merusak masa depan kita."

Anissa mengangguk. Embun di matanya telah menjadi rinai gerimis. Anissa teringat kata-kata ibunya beberapa hari yang lalu.
Jika kamu bisa mempertahankan beasiswamu, Ibu bisa menyisihkan uang untuk tabungan atau keperluan sekolah adik-adikmu.

Haruskah harapan itu kandas oleh perasaannya pada Ryan? Sebuah perasaan yang sebenarnya belum saatnya tumbuh di hatinya.

"Kamu masih memiliki kesempatan, Anissa. Kamu harus mengembalikan nilai-nilaimu yang turun ini.“ Ibu Dahlia menyentuh lengan Anissa. Kelembutan Ibu Dahlia menenangkan hatinya. "Ibu percaya kamu bisa menentukan sikap. Ambillah keputusan yang paling tepat menurutmu," lanjut Bu Dahlia menggugah semangat di dada Anissa.

Anissa seperti baru terjaga dari tidur yang membawanya pada alam mimpi yang tak bermakna. Anissa mengepal jemarinya, ia berjanji tak akan terbuai lamunan-lamunan sepi itu lagi. Cukup sudah, cukup. Ia punya cita-cita. Dan cinta belum saatnya hadir dalam hidupnya. Anissa yakin cinta akan datang pada saat yang tepat dan akan indah pada waktunya. Saat ini yang lebih penting baginya adalah cita-cita bukan cinta. (*)

Cerpen ini pernah tayang di mahalah GADIS, edisi ke 32 || 28 November 2014

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini....

Advertisement

BTemplates.com

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels