Semesta adalah akuarium kata-kata dan kita adalah ikan-ikannya....

Jumat, 03 Oktober 2025

Rumah Kenangan Ibu

Bus dengan lambung biru itu melaju, meninggalkan Sobari terpancang bisu. Tatapan matanya lurus ke seberang jalan, menghadap gang sempit yang dipagari dinding beton setinggi dua meter. Dulu, di balik dinding beton itu berdiri perumahan warga kampung Subayan, namun sekarang hanya beberapa saja yang bertahan. Puing-puing bekas bangunan menumpuk di samping sekumpulan alat berat yang mirip raksasa jahat yang sedang beristirahat selepas puas melahap apa saja.

Sobari memasuki gang sempit itu dengan langkah goyah dan dada yang lungkrah oleh kesedihan. Ayunan kakinya berhenti di satu halaman yang cukup lapang. Matanya terpaku pada satu titik; rumah panggung berdinding papan. Rumah itu memiliki tangga melingkar yang dipahat motif bunga matahari. Sepasang besi berbentuk tombak mata tiga terpancang di kiri-kanannya.

Di bawah sebatang mahoni Sobari berdiri. Rongga dadanya pekat oleh kenangan yang berputar bagai roll film berwarna sepia. Dia ingat peristiwa besar yang pernah terjadi di rumah itu; masa kanak-kanak, masa remaja, pesta pernikahannya hingga terakhir melihat jasad ibu-bapaknya diturunkan dari rumah itu dua puluh tahun yang lalu.

Bapaknya meninggal pada usia 64 tahun, ketika Sobari baru dua tahun menikahi Ineh. Sejak bapaknya tiada, Sobari sering menawarkan pada ibunya untuk tinggal bersama mereka di Jakarta, namun mata lamur perempuan tua itu selalu menyiratkan keteguhan yang tak bisa ditawar-tawar.

“Aku tak bisa,” tolak ibunya. “Sebab pada setiap sudut rumah ini, tersimpan kenangan tentang bapakmu.”

Penolakan itu membuat Sobari menyerah. Dia tak pernah lagi berusaha membujuk ibunya. Dia paham, bagi perempuan renta itu, meninggalkan rumahnya sama halnya mencerabut kehidupan dari raganya. Sobari pun terpaksa menerima, meski ikatan kerja dan rumahtangganya di Jakarta membuat dia tak bisa leluasa merawat ibunya.

Setiap tiga bulan dalam tahun-tahun pertama kematian bapaknya, Sobari masih rutin menengok keadaan ibunya. Dia selalu merawat rindu untuk perempuan tua itu. Namun pada tahun ke lima, kerinduan di dadanya padam juga. Kabar itu datang dari jauh, menerakan bahwa ibunya meninggal dunia.

Kini, setelah hampir duapuluh tahun berlalu, dia kembali lagi. Kesunyian membungkus rumah itu dengan sempurna. Sobari mendorong daun pintu dan merasakan sesuatu di dalam dadanya telah meruang membentuk lubang. Rasa hampa dan perih menyeruak dari dalam. Sobari merogoh saku, mengeluarkan sapu tangan. Dia mengusap debu pada permukaan bingkai-bingkai potret yang terpajang.

Pada sebingkai potret hitam-putih terlihat seorang perempuan berkebaya sedang tersenyum sembari menggendong seorang bocah lelaki. Mata Sobari terasa hangat dan mengembun. Dia mengalihkan pandangan ke jendela. Sobari tak sanggup menatap sepasang mata yang membeku di dalam potret lawas itu.

“Ibu, aku pulang....” lirihnya.

Sobari melangkah ke dekat jendela. Matanya yang basah menatap ke kejauhan, memandangi asap kelabu yang melayang dari lahan tambang batu bara. Asap itu menyatu bersama awan mendung yang menyungkupi sisa-sisa kampung Subayan. Perusahaan itulah yang memanggilnya pulang. Perusahaan itu tumbuh bagai bopeng di wajah mulus perawan dan membawa kemusnahan di kampung Subayan.

“Rumah ini adalah mahar perkawinan yang kuberikan untuk ibumu,” kata bapaknya pada suatu pagi yang samar-samar muncul dalam ingatan Sobari.

Waktu itu kampung Subayan belum dialiri listrik. Setiap usai salat magrib Sobari lebih senang berdiam diri di rumah, menikmati gemulai api lentera minyak tanah. Di bawah pijar redupnya, Sobari selalu mendengarkan senarai kisah dari lisan bapaknya.

Kisah yang paling sering dia dengar adalah kisah cinta ibu-bapaknya. Jika kisah itu dituturkan, wajah ibunya pasti bersemu merah jambu, menggelenyarkan rona kebahagiaan yang paripurna. Sobari merasakan cinta yang demikian besar di mata orangtuanya dan kehangatan cinta itu masih terasa hingga kini dan membuat air matanya jatuh tanpa terasa.

Di luar hujan mulai turun bersama gelegar guntur yang memekakkan telinga. Cucuran air dingin jatuh di atas kepalanya, tepat mengenai titik ubun-ubun. Tetesan hujan itu serta-merta menghapus bayang-bayang nostalgia dari benak Sobari, menggantinya dengan wajah Ineh, perempuan yang juga sangat dicintainya. Rasa perih hebat itu datang lagi, menyilet bagian dalam tubuhnya untuk ke sekian kali.
***
Rumah Bulan

Rembang malam, cahaya senja mulai merebahkan bayang-bayang pohon ketapang yang tumbuh di sekitar batu-batu nisan di areal pekuburan umum kampung Subayan. Sepasang kupu-kupu bersayap kuning, terbang beriringan di pucuk-pucuk bunga ilalang. Di tepi pusara bapak-ibunya, Sobari menerakan serangkaian kata-kata sambil berurai air mata.

“Maafkan aku,” katanya dengan bahu terguncang. “Sungguh, aku tak punya pilihan.”

Sulit dipahami apa maksud kata-kata itu, namun apabila merunut waktu ke belakang, maka jawaban untuk tangis lelaki yang duduk terpekur di samping nisan-nisan itu akan mudah didapatkan. Ba'da zuhur tadi, tiga orang lelaki berpakaian rapi mendatanginya. Tiga lelaki itu adalah utusan perusahaan tambang batu bara.

“Pimpinan kami telah menyepakati harga yang Bapak pinta,” ujar lelaki bermata sipit itu sambil merogoh beberapa ikat uang kertas dan sehelai cek kosong dari tas kecil di pangkuannya. “Rumah dan tanah ini masuk dalam denah biru lahan persiapan kami.”

Sobari tak menjawab. Lisan dan lidahnya seolah menjadi batu saat lelaki itu memintanya menandatangani sehelai kertas di atas meja. Ada perasaan berdosa yang berkerak tebal di bawah jemarinya saat menyentuh tangkai pena. Namun wajah Ineh terus menerus berkelindan di pelupuk matanya.

“Ini harga yang cukup pantas,” ucap salah satu dari tiga lelaki itu. “Dengan uang ini, Bapak bisa mencari lahan dan rumah baru.”

Sobari mendengus. Di dalam hati, dia mencaci. Gampang saja bagi lelaki muda itu berbicara. Namun apa yang dia tahu tentang kenangan? Tentang kehilangan? Tentang keputus-asaan? Sobari yakin, lelaki muda itu tak akan pernah tahu.
Seminggu yang lalu, segera setelah Sobari berjalan menuju ruang rawat Ineh, dia dapat melihat sesuatu telah berubah. Perempuan itu bersandar di ranjang rawat, mengunyah irisan apel sambil berbincang dengan salah seorang perawat. Dia mengusap kepala gundulnya ke belakang dan tersenyum. Sobari menggantungkan jaket di dekat pintu dan mendehem, sengaja agar kehadirannya diketahui.
Ineh tersenyum dengan percaya diri, seakan ingin menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, tetapi gagal. Perempuan itu menegakkan tubuh dibantu perawat dengan susah payah. Sobari mengecup keningnya sambil menangis.

Ruangan itu penuh dengan aroma obat-obatan, gelembung oksigen mendesis dalam wadahnya. Perawat tadi meletakkan sisa apel yang belum habis ke atas meja, lalu meninggalkan ruangan itu. Sobari terdiam lama. Dia seperti kehilangan kata-kata untuk menghibur istrinya.

Gelembung oksigen terus mendesis, membangun perasaan cemas di hati Sobari. Berapa kali ini akan terus terjadi? Kapan dia akan keluar dari mimpi buruk yang terus berulang dan menemukan jalan kembali? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul selepas dia bertemu dokter yang merawat Ineh dan berkonsultasi perihal penyakit istrinya. Namun, Sobari tak mampu menjawab satu pun pertanyaan itu. Otaknya membeku dan pikirannya betul-betul buntu.

“Dengar, Dok,” Sobari menggapai lengan dokter itu dengan tatapan penuh harap. “Lakukan segalanya agar dia sehat seperti dulu.”

“Kami akan melakukan yang kami bisa.” Dokter itu menyandarkan tubuh ke kursi. “Kita sama-sama berdoa.”

Di ruangan itu, waktu melaju lamban. Kata-kata itu membuat Sobari lesu. “Seberapa buruk situasinya?” tanyanya dengan suara gemetar.

Dokter itu memandangi wajah Sobari cukup lama, seakan menakar seberapa siap lelaki itu menerima kabar buruk.
“Harapan hidupnya masih ada,” ucapnya pelan dan diakhiri hela napas panjang. “Namun setiap hari semakin menipis. Saya menyarankan Anda membawanya ke rumah sakit yang memiliki fasilitas terbaik.”

Dan sore ini, di tepi nisan ibu-bapaknya, Sobari terseret-seret dalam perseteruan pikirannya sendiri. Lalu dia mencoba mendamaikannya dengan berpikir bahwa rumah itu bersama segala kenangannya adalah harga yang pantas untuk menyelamatkan satu-satunya yang tersisa dari orang-orang yang dicintainya.
Hampir dua puluh tahun pernikahan, dia dan Ineh tak dikaruniai anak. Jika Tuhan memanggil istrinya, maka dia akan hidup sebatangkara. Sobari merasa, menua dalam kesepian itu menakutkan. Dia telah melihat betapa buruk tabiat kesepian itu merusak kesehatan ibunya. Sobari tak ingin bernasib sama. Dia menginginkan waktu lebih lama bersama Ineh. Apa pun bayarannya.
***

Sesaat sebelum berdiri dan melangkah meninggalkan areal pekuburan itu, Sobari berpikir bahwa pada akhirnya waktu memang akan merenggut semuanya. Seperti rumah itu; satu persatu pergi dan tak akan pernah kembali. Di alam sana, dia hanya bisa berharap bapak-ibunya memahami keputusannya.

Lelaki itu berdiri seperti lelaki pikun yang lupa jalan pulang. Wajahnya pucat dan lelah, menanti kedatangan bus yang akan membawanya kembali ke Jakarta. Sesaat sebelum bus yang ditumpanginya melaju, Sobari masih sempat melihat kuku-kuku ekskavator mengeruk tanah di atas bekas rumah-rumah warga. Lelaki setengah baya itu memejamkan mata, dia membayangkan rumah kenangan itu pasti akan bernasib sama. (*)

Cerpen ini pernah tayang di harian Padang Ekspress, edisi Minggu, 15 Maret 2020
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini....

Advertisement

BTemplates.com

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels