Semesta adalah akuarium kata-kata dan kita adalah ikan-ikannya....

Rabu, 17 September 2025

Perempuan Bernama Dewi


"Aku mendapat tawaran pekerjaan," ucap lelaki itu pada istrinya. Saat mengatakan itu matanya menerawang ke langit-langit kamar. Suami istri itu berbincang sambil berbaring. Berbincang sebelum tidur adalah kebiasaan yang selama ini mereka lakukan. 

"Pekerjaan apa?"

"Aku bertemu teman lama dan ditawari bekerja di perusahaannya."

"Oh, syukurlah, setidaknya kita bisa sedikit lega. Kamu juga sudah cukup lama menganggur.”

Lelaki itu bangun, tak memedulikan sindiran istrinya. Ia sudah cukup kebal dengan kenyinyiran istrinya perihal kesulitan ekonomi keluarga mereka. Sebagai suami, ia sudah cukup bersabar menerima perilaku istrinya, walau terkadang sempat terbersit untuk menyakiti perempuan itu--bahkan membungkam mulutnya selamanya.

"Tapi aku bingung," katanya seraya duduk memeluk lutut. Istrinya ikut bangun dan menatap heran.

"Bingung kenapa?"

"Kamu masih ingat Dewi?"

Perempuan itu mengerutkan kening. Ia mengingat satu persatu orang-orang yang bernama Dewi dalam hidupnya. Teman sekolah, teman kuliah, kerabat, kenalan dan beberapa perempuan yang bernama Dewi, tapi ia betul-betul lupa, sebab ada puluhan perempuan bernama Dewi yang ia kenal di masa lalu.

"Kamu lupa?" tanya lelaki itu dan istrinya mengangguk. "Dewi Rukmini."

Seperti roket, ingatan perempuan itu melesat ke masa lalu. Ia ingat Dewi, Dewi Rukmini, gadis berwajah manis dengan rambut ikal sebahu dan tubuh semampai--setidaknya dua ciri-ciri itu yang paling diingatnya. Sudah hampir 12 tahun sejak mereka berpisah. Ia tak banyak mengetahui kabar tentang Dewi, sedikit yang ia tahu, Dewi telah menikah dan tinggal di luar negeri bersama suaminya yang berdarah Belgia.

Dari sekian ingatannya tentang Dewi, ada satu yang membuatnya terhenyak: Dewi menyukai suaminya. Pada masa-masa kuliah, suaminya adalah bintang kampus. Selain ia, banyak gadis-gadis yang jatuh hati dan salah satu yang paling getol mengharap cinta suaminya adalah Dewi. Bahkan, Dewi pernah terang-terangan mengungkapkan perasaannya dan perasaan itu ditolak dengan halus, sebab suaminya lebih memilih ia untuk dijadikan istri.

"Kamu ingat?" Pertanyaan itu membuyar lamunannya. Ia mengangguk.

"Apakah yang kamu maksud, Dewi teman kuliahku dulu?"

Lelaki itu mengusap wajahnya, kemudian mengangguk.

Beragam kemungkinan coba dibaca oleh perempuan bermata tajam itu. Dewi menawarkan pekerjaan pada suaminya tentu tidak cuma-cuma. Ia rasa sampai detik ini Dewi masih menyimpan perasaan itu untuk suaminya. Membayangkan itu, tengkuknya dingin. Ia takut Dewi akan merebut suaminya atau justru suaminya yang akan tertarik dengan Dewi dan meninggalkannya.

"Aku bisa menolaknya kalau kamu tidak setuju.”

Ia berpikir sejenak. Sebenarnya memang itulah yang ia mau. Suaminya menolak tawaran Dewi dan mencari pekerjaan lain, namun mencari pekerjaan di zaman yang serba sulit seperti sekarang tidaklah mudah. Kesempatan baik tidak akan datang berkali-kali. Lagi pula waktu berbelas tahun, pasti membawa perubahan besar pada Dewi, harapnya. Tapi sebenarnya ia bukan sedang berharap, melainkan sedang mendamaikan perasaan yang menghasut pikirannya.

Perempuan itu kebingungan. Satu sisi ia cemburu dan takut jika praduga di hatinya menjadi nyata, namun di sisi yang lain, kondisi ekonomi rumah tangga mereka sedang terjepit. Kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan biaya sekolah anak-anaknya tentu tidak bisa ia korbankan demi perasaannya sendiri. Ia tak mau menjadi ibu yang buruk untuk anak-anaknya--meski ia tak yakin selama ini menjadi istri yang baik untuk suaminya.

"Bagaimana menurutmu?"

Ia mengembuskan napas, lalu menatap lekat mata suaminya, "Aku tidak keberatan. Aku percaya padamu, Mas."

Perempuan itu membuang jauh-jauh pikiran buruknya dan menaruh kepercayaan penuh pada suaminya. Pernikahan mereka sudah menginjak tahun ke sepuluh, sudah banyak ujian yang mereka lalui dan ujian kali ini pasti bisa mereka lalui lagi.

***

Baca juga: Rumah Bulan


Sejak suaminya diterima di perusahaan Dewi, kondisi ekonomi rumah tangga mereka berangsur membaik. Bahkan Dewi tak jarang berkunjung ke rumahnya. Jalinan persahabatan antara ia dan Dewi pun kembali tersambung. Ia sebenarnya cukup senang bertemu lagi dengan Dewi, tapi mendapati kalau status Dewi yang sekarang menjanda, sangat mengganggunya--lebih tepatnya menghantui benaknya.

Kedekatannya dengan Dewi memang tidak serapat masa-masa kuliah dan saat-saat mereka masih lajang. Banyak perubahan yang memaksa mereka untuk menghormati batas-batas yang ada. Meskipun rasa curiga dan cemburu masih berkedip di hatinya, namun ia tak ingin berlarut-larut dengan perasaan itu. Dewi sahabatnya, mustahil tega menusuknya dari belakang, harapnya. Tapi, lagi-lagi, sebenarnya ia bukan sedang berharap, melainkan sedang mendamaikan perasaan yang menghasut pikirannya.

Ia bisa bernapas lega, karena sejauh ini Dewi sama sekali tidak menunjukkan rasa sukanya seperti dulu. Kedatangannya hanya diisi cerita-cerita nostalgia dan berbagi pengalaman semasa ia tinggal di Belgia. Dewi masih seperti sahabatnya yang dulu, periang, penuh canda dan sering membuatnya tertawa--meskipun perasaan tak nyaman itu sering muncul tiba-tiba dan membuat tawanya terasa hampa dan sumbang.

“Kamu enak, dengan suami sebaik itu dan anak-anak yang lucu, hidupmu pasti bahagia." Begitu awal percakapannya dengan Dewi di suatu siang yang sedikit terik.

“Ah, lebih bahagia kamu, Wi. Hidupmu berkecukupan dan semua kebutuhan hidup terjamin.”

Dewi hanya menanggapi dingin. "Sejak suamiku meninggal, aku merasa kebahagiaan tidak ada lagi dalam hidupku."

"Kenapa kamu bicara seperti itu?"

"Yah begitulah," Dewi lalu melanjutkan kalimatnya tanpa menoleh. "Aku masih mencintai suamiku, aku masih belum puas merasakan kebahagiaan bersamanya, bahkan kami tak memiliki anak dari buah pernikahan kami."

"Kamu tidak ingin menikah lagi?"

"Kenapa?" Dewi menautkan alis.

Kini pandangan mata mereka beradu. Perasaannya berdenyar aneh, ada sesuatu yang disimpan Dewi darinya, entah apa, ia hanya bisa menduga-duga.

"Kupikir, usiamu masih muda dan tidak ada salahnya jika kamu membuka hatimu untuk laki-laki lain."

Ia berpaling, menyembunyikan kegundahan di wajahnya dengan berpura menatap televisi yang menyala di ruang tamu. Berita tentang penemuan mayat di daerah pinggiran kota sama sekali tidak menarik baginya.

Dewi tertawa kecil. "Aku merasa belum menemukan laki-laki yang tepat untuk menggantikan almarhum suamiku."

"Sampai sekarang?"

"Yah, sampai sekarang."

"Bagaimana ka--kalau ... suamiku?"

Ia berusaha sekuat mungkin menindih gurat risau di wajahnya, tapi getar suaranya jelas terdengar.

"Apa?" Dewi menatapnya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Maaf saja. Kalaupun kamu mengijinkan, aku tidak akan mau berbagi ranjang dengan sahabatku sendiri."

"Bukankah dulu kamu juga mencintainya?"

Dewi tertawa. "Itu dulu. Masa-masa itu telah berlalu."

Ia tertegun, bingung, antara lega atau justru semakin curiga. Mungkinkah Dewi bersungguh-sungguh dengan perkataannya atau sekadar berpura-pura agar ia tidak curiga dan menunggu waktu yang tepat untuk merebut suaminya?

***


Minggu siang itu Dewi datang lagi. Suaminya mengajak kedua anak mereka berlibur ke kebun binatang, ia tidak ikut karena sedang tidak enak badan. Ia memilih rebahan di kamarnya dan saat itulah ia mendengar pintu diketuk. Dari balik gorden, ia melihat sosok Dewi telah berdiri di muka pintu.

"Masuk," ucapnya sembari membenahi rambutnya yang acak-acakan, ia belum mandi pagi ini, badannya meriang dan itu membuatnya malas bersentuhan dengan air.

"Kamu kenapa?" Dewi memperhatikan wajahnya yang terlihat pucat. "Kamu sakit?"

Ia melangkah ke kursi tamu dan duduk, diikuti Dewi. "Iya nih, badanku tidak enak," jawabnya sambil memijat belakang lehernya.

"Wah padahal aku mau mengajakmu pergi." Dewi meletakkan tasnya di atas meja dan duduk seraya menyilangkan kaki jenjangnya.

"Ke mana?"

“Jalan-jalan aja, refreshing akhir pekan." Dewi tersenyum penuh arti. "Sekalian bikin kejutan untuk suamimu, kamu lupa? Dia kan ulang tahun hari ini?"

Ia menepuk keningnya, "Ah, kok aku bisa lupa ya?"

"Aku tahu dari facebook-nya, makanya bikin akun facebook, emak-emak juga harus melek internet dong. Oh ya, mana suami dan anak-anakmu? Kok tidak kelihatan?" Dewi mengulum senyum dan melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.

"Ah. malas, Wi, ngurusin anak-anak saja sudah repot, mana punya waktu aku facebook-an. Ia tersenyum kecut. "Suamiku mengajak anak-anak ke kebun binatang."

"Sudahlah, yang penting kamukan tidak telat memberi surprise untuk suamimu itu." Dewi mengibaskan tangan, lalu menatapnya. "Ayolah, mumpung aku lagi tidak ada kegiatan, sekalian aku bantuin kamu bikin kejutan, gimana?"

Dulu, saat masih pacaran ia selalu ingat ulang tahun suaminya, begitu pun sebaliknya. Terakhir kali mereka merayakannya sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Sungguh, ternyata sudah cukup lama ia tidak merayakan moment bahagia itu bersama suaminya. Setelah menimbang sejenak, akhirnya ia memutuskan, tidak ada salahnya untuk menuruti ide yang disarankan Dewi.

"Oke, aku mandi dulu ya?" Ia berdiri, lalu melangkah meninggalkan Dewi seorang diri di ruang tamu.

"Oke, siip, jangan lama-lama ya."

Sepeninggal perempuan itu, Dewi merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah handphone. "Iya, halo, iya sebentar lagi, dia masih mandi. Tunggulah, mungkin setengah jam lagi kami sampai ke situ."

Dewi mematikan handphone-nya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia lantas berdiri dan berjalan ke arah dinding. Di sana banyak tergantung foto-foto keluarga. Raut wajah Dewi mendadak murung dan beberapa detik kemudian mata perempuan itu berkilat--seperti ada nyala api membara dari tatapannya.

"Ayo, aku sudah siap."

Lamunan Dewi buyar. Perempuan yang ditunggunya sudah tampil rapi di hadapannya. Diam-diam Dewi mengagumi kecantikannya, walau sudah memiliki dua anak, tapi penampilan perempuan itu masih selayaknya gadis muda.

"Kamu cantik sekali, memang tidak salah dia memilihmu," ucap Dewi disusul senyuman yang agak kaku. Perempuan itu hanya tersipu mendengar pujian Dewi.

Ia melangkah mengikuti Dewi menuju mobil yang terparkir di jalan depan rumahnya. Saat berpapasan dengan seorang tetangga, ia mengatakan bahwa mereka hendak berbelanja dan ia menitipkan kunci rumah agar bila nanti suami dan anak-anaknya pulang tidak perlu bertanya-tanya perihal keberadaannya.

Perempuan itu duduk di samping Dewi yang menyetir mobil. Dewi selintas melirik ke arahnya dan tersenyum. Mobil sedan hitam itu kemudian melaju perlahan meninggalkan komplek perumahan tempat ia tinggal bersama  suaminya selama hampir sepuluh tahun berumah tangga.

Di sebuah warung pinggir jalan tiba-tiba Dewi menghentikan laju mobilnya.

"Kenapa berhenti, Wi?" Ia bertanya heran.

"Aku haus, tunggu sebentar ya, aku mau beli minuman."

Dewi segera turun dari mobilnya dan melangkah menuju warung yang dijaga oleh seorang laki-laki bertubuh jangkung. Ia memperhatikan dari balik kaca mobil. Dewi terlihat berbincang sesaat dan sesekali melihat ke arahnya. Lelaki itu menyodorkan dua botol air mineral dan setelah memberikan selembar uang, Dewi pun kembali ke mobil.

“Nih, buat kamu satu."

Ia mengambil botol air mineral yang disodorkan Dewi dan langsung meminumnya. Mobil pun kembali melaju menyusuri jalanan yang sedikit lengang siang itu. Akhir pekan memang membuat jalan di perkotaan sepi.

"Kita mau ke mana?"

"Kita beli bahan-bahan makanan dulu, terus pulang dan masakin makanan kesukaan suamimu."

Ia hanya mengangguk. Saat anggukan terakhir, kepalanya tiba-tiba terasa berat. Ia mengerjap-kerjapkan matanya. Bayangan tubuh Dewi menjadi dua. Beberapa detik setelah itu, ia merasa pusing dan rasa kantuk hebat menyerang biji matanya. Perempuan itu lantas memejam, lalu terdengar deru halus dari mulut dan hidungnya. Perempuan itu tertidur pulas di samping Dewi yang masih asyik menyetir.

Mobil sedan hitam itu melesat menuju jalanan yang mengarah ke luar kota. Di dalamnya Dewi tersenyum misterius dan sesekali tertawa. Perempuan di sampingnya masih tergolek. Botol air mineral yang tadi diminum oleh perempuan itu isinya sudah tumpah dan membasahi baju dan rok yang dikenakannya.

Sekitar setengah jam menyusuri jalan raya, Dewi lalu mengarahkan mobilnya ke jalanan yang di kiri-kanannya tumbuh semak belukar dan kebun karet. Laju mobil sedan hitam itu baru berhenti tepat di depan sebuah bangunan besar yang terletak di atas bukit. Dewi menekan klakson berkali-kali. Seorang lelaki dengan topi kupluk tergopoh menggeser pagar besi kokoh yang tingginya sekitar tiga meter.

Cepat bawa perempuan itu ke kamar tamu. Dewi menunjuk ke arah perempuan yang tadi tertidur lelap. Lelaki bertopi kupluk mengangguk dan langsung melaksanakan perintah Dewi.

Tubuh perempuan itu diletakkan di atas ranjang. Dengan isyarat kibasan tangan, Dewi memerintahkan lelaki bertopi kupluk itu keluar kamar. Ia langsung membuka laci dari lemari kayu yang terletak di sudut kamar. Dari laci tersebut Dewi mengeluarkan seutas tali panjang dan segulung lakban hitam. Dengan kedua benda itu, ia mengikat tangan dan kaki perempuan itu dan menutup mulutnya dengan lakban. Setelah dirasa cukup kuat, Dewi meraih handphone di tasnya.

"Cepatlah. Ia sudah aku amankan, aku sudah tidak tahan lagi merayakan pesta ini sama kamu." Dewi tertawa cekikikan dan meraba-raba tubuhnya sambil menggeliat-geliat nakal.

Dari seberang sambungan telepon terdengar jawaban, "Iya sayang, sebentar lagi aku sampai ke sana. Tadi setelah dari kebun binatang, anak-anak kutitipkan ke neneknya. Aku juga sudah tidak sabar ingin membakar perempuan sialan itu!”

"Kamu memang pintar, kamu tidak akan salah memilihku."

Dewi tertawa dan kali ini lebih keras, sementara perempuan tadi masih tertidur dengan kaki dan tangan terikat serta mulut tertutup lakban. Di atas meja rias, tak jauh dari ranjang, tergeletak sebilah pisau dan satu botol air mineral, tapi isinya bukan bening, melainkan kuning seperti bensin. (*)


Muara Enim, Sumatera Selatan, 17 Oktober 2014

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini....

Advertisement

BTemplates.com

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels