Kirana ingin bisa terbang. Ia ingin pergi ke bulan. Mencari tahu apa yang dulu pernah diceritakan papanya; di bulan ada negeri cantik serupa surga. Benarkah surga ada di bulan? Apakah sekarang papa dan mama berada di bulan?
***
Setiap lepas senja, Kirana selalu masuk ke kamar dan mengunci diri. Ia membuka jendela dan menunggu bulan dengan harap-harap cemas. Saat bulan tampak di langit, kesedihan pun menyusup ke dalam raut wajahnya. Berteman suara debur ombak dan angin laut yang menelisik dari jendela, Kirana akan memandangi bulan dalam kebisuan.
Dulu Kirana selalu bahagia menatap bulan berlama-lama. Tapi sekarang tidak lagi, bagi Kirana, menatap bulan hanya semacam ritual untuk mengulang kesedihan. Tapi meski begitu, Kirana selalu menunggu kehadiran bulan, sebab hanya dengan memandangi bulan, Kirana mampu membangkitkan kembali kenangan-kenangan bahagia yang pernah ia ukir. Jika bulan tersaput awan atau hujan turun, maka Kirana akan menyalakan sebatang lilin dan meletakkannya di bawah foto dua orang yang paling ia sayangi; mama dan papanya.
Kirana tak menyukai keramaian. Selain karena memang tak suka, ada sebentuk trauma yang membebat tubuhnya. Trauma itu membuat ia menyingkirkan keinginan-keinginan untuk suka pada keramaian. Sepuluh tahun lalu, saat ia, mama dan papa baru selesai makan-makan di kafe yang ada di seputar pantai Legian, takdir datang menjelma hantu yang merenggut kebahagiaan Kirana. Sebuah ledakan keras disusul tanah bergetar, debu-debu pekat, gema kaki orang berlarian sambil menjerit dan suara-suara orang berdoa dalam panik, sampai ia tak sadarkan diri setelahnya. Semuanya masih rekat di ingatan Kirana.
Kirana baru siuman setelah berada di rumah sakit Sanjiwani. Sekujur tubuhnya nyeri dan dibalut perban. Kirana menanyakan keberadaan mama dan papanya, tapi tidak ada yang menjawab. Hingga akhirnya Eyang Puteri menyampaikan kabar yang meremukkan hati; mama dan papanya menjadi korban dalam ledakan bom di Legian.
Kadang-kadang sejak peristiwa pilu itu, Kirana masih bertanya; mengapa di dunia ini ada orang-orang yang tak mempunyai hati nurani. Mereka tega memisahkan seorang anak dengan orang tuanya mengatasnamakan agama. Bukankah agama selalu mengajarkan hal-hal yang mulia, lalu kenapa orang-orang itu berbuat aniaya. Tuhan seperti apa yang mereka puja? Pertanyaan itu kerap menghantui benak Kirana.
“Kau harus merelakan takdir yang telah digariskan Hyang Widhi kepada kita," Kirana.
Eyang Puteri selalu menasehati Kirana jika ditemuinya cewek itu melamun sendirian—kadang-kadang sambil menangis. Tapi, Kirana tak pernah bisa menuruti pinta Eyang Puteri. Merelakan kepergian mama dan papanya adalah hal tersulit. Entah mengapa, berat sekali bagi Kirana melukar ingatan pada sosok mama dan papa. Jika sudah begitu, Eyang Puteri akan membelai kepala Kirana sampai cewek itu tertidur di pangkuannya.
***
Melupakan kenangan adalah jalan panjang yang melelahkan. Kirana mungkin sudah bisa berdamai dengan ketidakberuntungan itu. Tapi ia masih belum bisa menerima kepergian mama dan papa yang begitu tiba-tiba. Ketika bayangan-bayangan itu hadir menghantui, Kirana tak berdaya. Ia hanya bisa mengalihkan kesedihan-kesedihannya pada kuas dan kanvas lukis. Beberapa tahun terakhir, melukis sengaja dipilih Kirana untuk mengusir mimpi buruk yang saban malam mendatanginya. Kesedihan telah meninggalkan jejak lebam di dada Kirana. Tragedi itu telah merenggut keceriaan masa remajanya.
Seperti biasa, Kirana menghabiskan waktunya di sanggar lukis milik Bli Wayan di Banjar Penataran, Gianyar. Kirana melesapkan diri ke dalam ayunan kuas di atas kanvas. Noda-noda bekas cipratan cat bertaburan di pipinya yang tirus. Bulan di atas laut yang pekat, pendar keemasan di atas gelombang, siluet perahu meretas lautan, semua komposisi warna tersebut begitu harmoni dalam spektrum yang diracik jemarinya. Semua apa yang dilukiskan Kirana, adalah refleksi kesedihan yang ia sembunyikan.
"Lukisan yang indah...”
Kirana tersentak. Ia menoleh ke belakang. Seorang cowok berperawakan tinggi dan mengenakan kaca mata bening berdiri. Cowok itu tersenyum padanya. Kirana membalas senyuman itu sekilas, lantas kembali melanjutkan lukisan yang belum dirampungkan.
"Boleh aku menebak?" Cowok di belakang Kirana kembali bersuara. Kali ini seperti ingin memancing obrolan lebih lama.
"Silakan," jawab Kirana tanpa menoleh.
“Kau pasti penyuka karya-karya Affandi atau Raden Saleh? Iya 'kan?"
Kirana sejenak menghentikan gerakan tangannya. Tapi ia tak menatap wajah cowok itu. "Aku pencinta lukisan natural. Bulan adalah objek yang paling aku senangi. Ya, kau benar, aku menyukai lukisan mereka.”
"Sudah kuduga," tukas cowok itu seraya melepas tawa. "Aku juga menyukai bulan.”
"Oya?" seru Kirana seolah sangsi. "Aku boleh balik bertanya?"
"Silakan."
“Bagaimana pendapatmu tentang lukisanku?"
Hening sesaat. Jeda itu memberi kesempatan pada cowok itu memilah kata-kata.
“Aku hanya penikmat lukisan dan sama sekali tidak paham tentang lukisan. Pengetahuanku pada seni lukis masih dangkal. Tapi aku yakin, lukisan dengan gambar bulan di atas laut seperti ini tak perlu berpikir keras untuk menilainya. Ini lukisan yang bagus. Ini lukisan mangata, 'kan?"
"Tak banyak yang tahu istilah-istilah seperti itu. Iya, kau benar. Ini lukisan mangata." Kirana tersenyum dan meletakan palet ke meja kayu di sampingnya. "Namaku Kirana."
"Bayu. Bayu Prakoso," jawab cowok itu sembari menyambut uluran tangan Kirana.
"Oh, maaf tanganmu kotor," seru Kirana.
"Tak apa," jawab Bayu santai. Ia mengelap sisa cat yang berselemong di jari dan telapak tangannya.
Kirana mengangguk dan kembali memunggungi Bayu. Ia melesap lagi ke lukisan bulannya. Bayu masih tegak di belakang, menikmati tarian jemari Kirana yang gemulai menyapu permukaan kanvas. Setelah perjumpaan itu, Kirana dan Bayu menjadi akrab. Benar sekali petuah bijak yang berkata; kesamaan minat akan membuat hubungan lebih rekat. Seperti yang terjadi pada Bayu dan Kirana; mereka menjadi akrab karena masing-masing memiliki minat yang sama terhadap lukisan. Terutama tentang bulan.
***
Baca juga:
Senja itu, Pantai Selukat sepi. Kirana dan Bayu berjalan menyusuri garis pantai bersama sinar senja yang tembaga. Sepanjang senja, Kirana membisu. Bayu menangkap raut murung di wajah Kirana.
"Aku ingin pergi ke kesana," ucap Kirana memecah kebisuan. Telunjuknya mengarah lurus ke angkasa. Di sepertiga langit, bulan belum sepenuhnya terang. Senja belum tuntas menghabiskan pendarnya. Malam pun masih terlampau muda untuk membuat bulan menyala sepenuhnya.
"Setahuku, selama ini kau hanya senang melukis bulan, belum pernah kudengar keinginanmu ingin pergi ke kesana. Keinginanmu itu terdengar aneh," jawab Bayu.
"Tidak. Keinginan itu tidak aneh. Aku rasa keinginan itu masih wajar."
"Iya mungkin kamu benar. Kenapa kau ingin ke sana?"
"Entahlah, aku merasa bulan adalah tempat yang indah. Setiap melihatnya hatiku damai."
"Emang mau naik apa kau ke sana? Layang-layang?" Bayu menahan tawa.
"Entahlah. Dulu sewaktu kecil aku mengira surga itu ada di sana. Yah, mungkin karena itu aku ingin pergi ke bulan."
Ada kesedihan yang tersemat di nada suara Kirana. Ia menunduk dan menghela napas panjang. Kesedihan berarak di matanyaselayaknya gumpalan awan kelabu yang bersiap menurunkan gerimis. Kirana berjalan ke bibir pantai. Ia menatap bias senja yang perlahan memudar di langit pantai Selukat. Bayu menatap punggung Kirana dengan perasaan iba. Ia sudah mendengar semua kisah muram dalam hidup Kirana. Pukulan takdir membuat cewek itu limbung. Bayu menghampiri Kirana, tegak bersisian dengannya.
"Kau sungguh ingin pergi bulan?" tanya Bayu pelan.
"Ingin sekali..." Kirana menjawab lirih.
"Besok aku akan membawamu ke bulan. Di tempat itu, kau tidak hanya akan menemukan satu bulan. Di tempat itu ada tangga dari cahaya. Tangga itulah yang akan membawa kita ke ke atas sana," bisik Bayu.
***
Baca juga: Perempuan Bernama Dewi
Siang itu Bayu datang kembali ke sanggar. Seperti hari-hari sebelumnya, siang itu pun Kirana sedang lesap bersama lukisannya.
"Kamu harus ikut aku sekarang, Kirana," ajak Bayu tanpa basa-basi.
"Ke mana?"
"Ikut saja. A surprise for you."
Kirana belum menjawab saat Bayu menarik lengannya ke sebuah mobil yang terparkir di jalan depan sanggar. Di dalam mobil yang entah milik siapa dan pada siapa Bayu meminjamnya ini, terlintas pikiran buruk di benak Kirana.
“…aku akan membawamu ke bulan. Di tempat itu, kau tidak hanya akan menemukan satu bulan. Di tempat itu ada tangga dari cahaya. Tangga itulah yang akan membawa kita ke ke atas sana."
Bayu pernah mengatakan itu. Entah mengapa Kirana merasa ia salah menangkap maksud Bayu dengan kalimat aku akan membawamu ke bulan-nya. Bukankah itu bisa berarti Bayu menganggapnya mengalami gangguan jiwa atau mungkin Bayu ingin mengajaknya menemui seorang dokter jiwa?
Dokter jiwa! ?
Tubuh Kirana bergetar tiba-tiba. Di sampingnya Bayu duduk dengan tenang tanpa bicara. Hanya ada senyum aneh tersungging di bibir cowok itu. Pikiran buruk itu menghantui Kirana lagi. Mungkin benar dirinya sudah menunjukkan tanda-tanda gangguan jiwa, pikir Kirana muram. Mungkin Bayu betul-betul menganggap dirinya sudah gila.
Cewek itu menelan ludah mendapati kenyataan betapa ia sesungguhnya tak bisa membebaskan diri dari tekanan kesedihan yang selama ini membelenggu. Bahkan Jika ini jalan terbaik untuk menghalau kesedihan, Kirana rela. Ia bertekad akan mengikuti skenario Bayu, semenyakitkan apapun itu. Ia masih ingat begitu banyak cara Bayu mengusir kesedihan di hatinya, namun tak pernah berhasil.
“Tuliskan kesedihanmu di kertas ini. Kemudian biarkan kertas ini terbakar. Asap dari kertas yang terbakar itu akan menyampaikan rasa rindumu. Kerinduan memang selalu menjadi musabab kesedihan. Aku sering merasakannya. Percayalah padaku, Kirana. ini cara paling lucu untuk mengusir kesedihan.”
Kirana tak menggubris perkataan Bayu. "Mungkin dengan kesedihan ini, rasa rinduku akan tersembuhkan," lirih Kirana pelan.
“Kesedihan tak akan pernah menyembuhkan. Jika selama ini kau membiarkan kesedihan mendiami hatimu, maka kesedihan itu akan semakin kuat merampas senyummu. Cobalah tulis kerinduanmu dan bakar kertas itu. Lewat asap yang di terbangkan angin ke angkasa, kata-kata kerinduan itu akan sampai ke mama dan papamu.”
Sekuat apapun usaha Bayu, Kirana tak melakukan apa yang dikatakannya. Ia sudah telanjur menceburkan diri pada lautan kesedihan. Tak ada gunanya membuat semacam penyelamatan konyol seperti ide yang dilontarkan Bayu. Kesedihan telah membuat hati cewek itu bermetamorfosa menjadi sebongkah batu.
“Kita sudah sampai," ucap Bayu memecah lamunan Kirana.
Mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah pelataran rumah bercat biru. Bayu mengajak Kirana turun dan membimbingnya masuk. Dari dalam rumah terdengar tangisan dan celoteh anak-anak. Sementara, di halaman sekelompok anak-anak lain terlihat sedang asik bermain. Ada yang bermain lompat tali, ada juga yang berkejaran sambil berjerit-jeritan ceria.
Di beranda depan, seorang wanita berpakaian putih dan berwajah teduh sedang menimang seorang balita. Beberapa balita lain terlihat sedang bermain dan ditemani dua wanita berpakaian sama dengan wanita di beranda. Pakaian mereka mengingatkan Kirana pada suster-suster di rumah sakit. "Inikah rumah sakit jiwa itu?" tanya Kirana pasrah.
Kirana bingung dengan keadaan yang dijumpainya. Bayu melangkah mendekati sekelompok anak kecil yang sedang asik bermain. Kirana menoleh kiri-kanan mencoba mengenali tempat itu.
"Selamat datang di rumah bulan, Kirana," kata Bayu lembut.
Kirana tak mengerti. Ditatapnya Bayu penuh tanda tanya.
"Rumah bulan ini adalah rumah yang dihuni anak-anak seperti kita. Anak-anak bulan. Dari sinilah aku berasal."
“Maksudmu?" tanya Kirana masih tak memahami.
Bayu tak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu memanggil sekelompok anak kecil yang tengah bermain. Anak-anak itu mendekat dan memandangi wajah Kirana. Mereka semua tersenyum. Kirana membalas senyum mereka sedikit canggung.
"Ucapkan selamat datang untuk Kak Kirana," kata Bayu pada anak-anak kecil yang kemudian menirukannya.
"Selamat datang di rumah bulan, Kak Kirana. Kakak tak akan sendiri lagi, kami akan menjadi teman kakak."
Kirana menatap Bayu, lalu beralih pada gadis kecil di hadapannya. Gadis kecil dengan rambut diikat menyerupai ekor kuda itu meraih jemari Kirana dan meletakkan setangkai bunga matahari.
“Bunga ini untuk Kakak," ucap gadis kecil itu dalam nada yang terdengar lucu. Matanya berbinar membola. "Jangan sedih lagi ya, Kak.”
Kirana merengkuh tubuh mungil itu dan mendekapnya. Airmata Kirana nyaris tumpah. Keharuan menyerbak di dadanya. "Terima kasih, Sayang," ucap Kirana. Gadis kecil itu mengangguk.
"Aku sengaja meminta bantuan anak-anak ini untuk menyiapkan kejutan untukmu. Aku tak ingin kamu larut dalam kesedihan dan merasa sendirian," kata Bayu di samping Kirana. "Banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya dengan beragam alasan atau tanpa alasan sama sekali. Namun itu bukan alasan untuk melarutkan diri dalam kesedihan. Banyak yang serupa kita. Kita tak pernah sendirian di bumi ini, Kirana."
Tangis haru Kirana akhirnya meruah. "Terimakasih, Bayu. Maafkan jika selama ini aku telah menjadi teman yang selalu bersedih. Aku tak tahu jika kau juga yatim piatu sepertiku.”
Bayu tersenyum. "Tak apa. Aku akan ada di setiap kesedihanmu, Kirana. Kami semua," jawab Bayu sambil merengkuh bahu gadis kecil yang tadi memberi bunga matahari untuk Kirana.
Kirana menoleh kiri-kanan. Anak-anak, suster-suster, semua yang ada di rumah itu menatapnya dengan senyum. Perasaan bahagia terasa hangat mengguyur dada Kirana. Dan sekarang ia baru menyadari bahwa Bayu benar, ia tidak sendirian di bumi ini. Di rumah bulan ini, kesedihan yang selama ini betah bersemayam di relung hati Kirana, telah menguap ke udara. (*)
* Pernah tayang di majalah GADIS

0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu di sini....