Semesta adalah akuarium kata-kata dan kita adalah ikan-ikannya....

Rabu, 01 Oktober 2025

Dia yang Tak Boleh Disebut Namanya

Kisah ini terjadi pada suatu malam di tahun 1997 silam. Kisah ganjil yang menggemparkan Kampung Tanjung Agung--kampungku yang terkucil di salah satu sudut Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Ketika itu, kira-kira usiaku sekitar dua belas tahun, usia kanak-kanak yang masih gemar bermain-main.

Bila senja tembaga telah memudar di balik gugus Bukit Barisan, bila temaram lampu kuning di rumah-rumah panggung telah dinyalakan, kemudian siang ditutup gema azan magrib dari surau, maka itu pertanda bagi kami bocah-bocah untuk memulai permainan inggap-inggapan.

Inggap artinya hinggap dalam bahasa kampung kami. Tempat inggap telah disepakati bersama dan tempatnya bisa sebuah pohon, bisa onggokan batu atau bisa juga tiang rumah panggung. Pemain yang menang harus bersembunyi dan nantinya akan beradu cepat menyentuh tempat inggap dengan penjaga. Bila penjaga lebih cepat menyentuh tempat inggap, maka yang menang akan dinyatakan kalah dan harus berganti posisi menjadi penjaga. Begitulah peraturannya.

Malam itu aku kalah sutar. Kifli, Hamdani, Rubai dan teman-temanku yang lain menjadi pemenang dan itu artinya akulah yang harus menjadi penjaga. Kami bersepakat tiang rumah milik Rubai yang dijadikan tempat inggap.

Mula-mula aku menutup mata sembari menghadap tiang dan menghitung, “Satu ... dua ... tiga!” seruku sambil membuka mata. “Sudah ya! Aku mulai mencari kalian!”

Suasana malam remang-remang. Cahaya bulan dan cahaya lampu dari rumah Rubai memberi sedikit penerangan. Aku mengendap-endap, menerka tempat teman-temanku bersembunyi. Rumpun keladi, belakang lesung, belakang salangan, di kolong rumah dan semua tempat gelap tak luput dari pengawasanku.

Pertama Kifli berhasil aku temukan, kemudian aku mencari teman-teman yang lain. Satu persatu berhasil aku temukan, tapi Hamdani dan Rubai belum kutemukan. Kedua temanku itu memang pandai mencari tempat bersembunyi. Bermenit-menit aku mencari, tapi mereka belum juga terlihat, bahkan Kifli dan teman-temanku yang lain ikut membantu, tapi lagi-lagi mereka tidak berhasil kami temukan. Akhirnya dengan putus asa, aku menyerah dan kukatakan mereka menang, tapi mereka berdua tidak keluar juga. Setelah bersepakat, permainan inggap-inggapan malam itu pun kami lanjutkan tanpa Hamdani dan Rubai. Mereka berdua tidak lagi kami cari. Kupikir, mereka pasti telah menjahili kami. Mereka pulang diam-diam dan meninggalkan permainan tanpa berpamitan. Itu sudah sering mereka lakukan, aku pun pernah melakukannya, tetapi rupanya dugaanku malam itu salah!

Setelah letih bermain, kami semua pulang ke rumah masing-masing. Sekitar pukul sebelas malam, kampungku gempar, pasalnya Hamdani dan Rubai tak pulang-pulang. Aku, Kifli dan semua anak-anak yang tadi ikut permainan, dikumpulkan dan ditanyai. Tentu saja kami bingung harus menjawab apa. Terakhir bertemu dengan mereka adalah saat sama-sama bermain inggap-inggapan. Hamdani dan Rubai bersembunyi, kemudian setelah itu kami tak berhasil menemukannya lagi.

Berbagai prasangka mulai merebak. Ada yang menduga keduanya bermain di satu tempat dan lupa pulang. Ada juga yang menduga jika itu ulah Mak Sumay. Yah, Mak sumay, hantu nenek-nenek yang gemar menculik anak-anak selepas maghrib. Aku dan teman-temanku ketakutan. Kami merapat ke ketiak umak-umak kami, sedang para ebak dan laki-laki dewasa segera mencari Hamdani dan Rubai.

Berbagai bebunyian gegap menyemaraki kesenyapan malam. Warga memukuli apa saja yang bisa menghasilkan suara riuh. Panci, kaleng, botol bekas, kentongan dan bermacam-macam yang lainnya. Benda-benda itu dipukul sekuat tenaga. Semua itu dilakukan sebab warga percaya jika suara riuh yang dihasilkan akan membuat Mak Sumay ketakutan lalu melepas Hamdani dan Rubai.

Umak Hamdani dan Umak Rubai tak henti-hentinya menangis dan memanggil nama anak mereka. Seisi kampung dikitari, namun mereka tak juga ditemukan. Akhirnya, warga memutuskan untuk memulai pencarian di kawasan hutan Teluk Bantilan. Hutan ini dipilih sebab dipercaya sebagai sarangnya lelembut dan kerajaan jin. Senter, petromak dan obor membelah kepekatan malam. Berjam-jam kami menunggu di pangkal tangga rumah panggung, namun titik terang keberadaan dua teman kami itu belum juga ditemukan.

Sekitar tengah malam, Ebak pulang dan mengatakan bahwa dia akan ikut warga mencari Hamdani dan Rubai ke Hutan Linau. Itu hutan lebat yang berada jauh di luar kampung kami. Kata Ebak, Wak Ali, dukun kampung yang dipintai petunjuk mengatakan, Hamdani dan Rubai dibawa oleh makhluk halus penunggu Hutan Linau. Setelah Ebak pergi, aku tidur di dekat Umak. Di atas dipan kayu tembesu, sebelum kantuk membawaku terlelap, Umak menasehatiku.

“Itulah. Kenapa Umak selalu melarangmu bermain jelang maghrib, Nak.”

“Kenapa memangnya, Mak?” tanyaku penasaran.

“Sebab kejadian seperti ini bisa saja menimpamu.”

Umak percaya Hamdani dan Rubai diculik Mak Sumay?”

Sosok menakutkan itu menggerogoti rapuhnya jiwa kanak-kanakku. Kupilin-pilin ujung sarung dan kugigit-gigit sudut bantal untuk menghilangkan rasa takutku.

“Jangan nian kau sebut nama itu!” desis Umak membuatku mengkerut. ”Dia bisa mendengar anak kecil yang menyebut namanya tengah malam buta begini. Tidurlah.”

“Ah ... “ keluhku pelan.

Jawaban umak sama sekali tak memuaskan rasa ingin tahuku. Tak lama terdengar dengkur halus, umak rupanya sudah terlelap, sedangkan aku masih terjaga. Aku tak bisa berhenti memikirkan nasib dua temanku itu. Benakku bersimpul tanya: Mengapa Mak Sumay gemar menculik anak-anak? Bagaimana nasib mereka yang diculiknya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergaung dalam rongga kepalaku hingga aku terbangun esok paginya. Saat sedang sarapan sebelum berangkat sekolah, Ebak mengatakan kalau Hamdani telah ditemukan. Tapi Rubai masih hilang dan terus dicari orang-orang.

Sepulang sekolah umak mengajakku berkunjung ke rumah Hamdani. Ketika kutanya, kata Umak, Hamdani masih belum bisa bicara. Pantaslah dia tak masuk sekolah tadi, pikirku. Sesampainya di rumah Hamdani, sudah banyak tetangga yang berkerumun. Aku dan Umak duduk di ujung kaki Hamdani. Kulihat wajah temanku itu pucat dan tatapan matanya menerawang ke langit-langit.

Wak Ali mengusap sekujur tubuh Hamdani dengan air yang sebelumnya telah dijampi-jampi. Menurut keterangan yang dikatakan Wak Ali, Hamdani diculik makhluk halus dan dibawa ke alam mereka. Sepanjang Wak Ali bercerita, aku terus memegangi lengan Umak, aku takut sekali, sebab kata Wak Ali, makhlus halus itu memang gemar menculik anak-anak yang usianya sebayaku.
***

Baca juga: Rumah Bulan

Seminggu setelah kejadian, Hamdani sudah pulih dan kembali bersekolah seperti biasa. Kami menunggu-nunggu dia bercerita tentang pengalamannya malam itu. Terutama aku, dan Kifli. Kami adalah teman terakhir yang bermain bersama Hamdani dan Rubai sesaat sebelum mereka hilang.

“Aku melangkah ke dalam asap yang mengambang,” ucap Hamdani memulai ceritanya selepas lonceng istirahat berdentang. “Dengan sebelah tangan kusibak asap itu dan terus berjalan. Pedomanku adalah keriuhan suara anak-anak yang riang tertawa-tawa. Aku menuju ke sana, menuju sebuah tempat di balik asap.”

Aku dan teman-teman terpancang bisu. Cerita yang mengurai dari mulut Hamdani membuat kami semua menggigil.

“Kemarilah, kemari. Kita mulai bermain!” ucap Hamdani menirukan suara-suara yang memanggilnya malam itu. “Aku tak yakin siapa yang dipanggil, tapi aku tetap menuju suara itu. Asap-asap yang mengambang mulai menipis. Satu cahaya terlihat, suara-suara tadi tambah jelas terdengar.”

Hamdani memandangi wajah kami satu persatu, lalu melanjutkan penuturannya, “Setelah melangkah beberapa jejak, aku sampai di sumber suara. Kalian tahu apa yang kutemukan di sana?”

Kami serentak menggeleng.

“Di serambi sebuah dangau. Aku melihat anak-anak duduk mengitari perempuan berbaju merah. Perempuan itu berkata padaku: selamat datang di dangau-ku, Hamdani Bin Zubair. Aku terkejut, sebab dia tahu namaku. Saat aku melihatnya dari dekat, aku nyaris pingsan. Bola matanya hitam seluruhnya, wajahnya putih keriput, dan mulutnya penuh liur berwarna merah!”

“La ... lalu apa yang terjadi setelah itu?” tanya Kifli tersendat menahan takut.

“Aku bertanya, kenapa aku berada di sana, perempuan itu mencengkram pergelangan tanganku dan menjawab: Kau dan temanmu ada di sini, sebab kalian memanggilku. Lalu, perempuan itu menyebutkan namanya ... “

“Siapa?” tanyaku penasaran.

“Mak Sumay,” jawab Hamdani dengan bibir bergetar. “Setelah itu dia tertawa berkerikikan dan terbang membumbung.”

Aku terlonjak kaget. Terngiang kembali nasihat umak sebelum aku tertidur: jangan nian kau sebut namanya ... jangan nian kau sebut namanya.

“Lalu bagaimana kau bisa kembali?” Kifli kembali bertanya.

“Entahlah,” jawab Hamdani dengan mata menerawang. “Terakhir yang kuingat, aku berteriak dan menyebut nama Allah berpuluh-puluh kali, hingga aku tak sadarkan diri. Saat terjaga aku sudah berada di rumah,” tutup Hamdani menyudahi ceritanya.

Hingga kisah ini aku tuliskan, Hamdani sudah menikah dan tinggal di Riau. Sedangkan Rubai, sampai sekarang belum ditemukan. Jika mengingat kembali cerita yang dituturkan Hamdani beberapa belas tahun silam, masih tersimpan dua misteri yang masih belum terjawab, apakah Rubai sudah tiada atau dia masih terjebak di tempat itu dan menunggu untuk diselamatkan? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu apa sesungguhnya yang terjadi pada Rubai. (*)


Catatan
Mak Sumay, sosok hantu berwujud perempuan tua yang dipercaya masyarakat Sum-Sel suka menculik anak-anak.
Sutar, mengundi dengan jari seperti hompipah.
Salangan, tumpukan kayu bakar yang disusun di bawah rumah panggung.
Umak, Ibu.
Ebak, Ayah.
Dangau, pondok.

Tanjung Agung, 19 November 2014

Cerpen ini terdapat dalam buku antologi horror dan kisah nyata berjudul Perempuan Terowongan Ceger (2014)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini....

Advertisement

BTemplates.com

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels