Semesta adalah akuarium kata-kata dan kita adalah ikan-ikannya....

Minggu, 28 September 2025

Rumah Bulan


Kirana ingin bisa terbang. Ia ingin pergi ke bulan. Mencari tahu apa yang dulu pernah diceritakan papanya; di bulan ada negeri cantik serupa surga. Benarkah surga ada di bulan? Apakah sekarang papa dan mama berada di bulan?
***

Setiap lepas senja, Kirana selalu masuk ke kamar dan mengunci diri. Ia membuka jendela dan menunggu bulan dengan harap-harap cemas. Saat bulan tampak di langit, kesedihan pun menyusup ke dalam raut wajahnya. Berteman suara debur ombak dan angin laut yang menelisik dari jendela, Kirana akan memandangi bulan dalam kebisuan.
Dulu Kirana selalu bahagia menatap bulan berlama-lama. Tapi sekarang tidak lagi, bagi Kirana, menatap bulan hanya semacam ritual untuk mengulang kesedihan. Tapi meski begitu, Kirana selalu menunggu kehadiran bulan, sebab hanya dengan memandangi bulan, Kirana mampu membangkitkan kembali kenangan-kenangan bahagia yang pernah ia ukir. Jika bulan tersaput awan atau hujan turun, maka Kirana akan menyalakan sebatang lilin dan meletakkannya di bawah foto dua orang yang paling ia sayangi; mama dan papanya.
Kirana tak menyukai keramaian. Selain karena memang tak suka, ada sebentuk trauma yang membebat tubuhnya. Trauma itu membuat ia menyingkirkan keinginan-keinginan untuk suka pada keramaian. Sepuluh tahun lalu, saat ia, mama dan papa baru selesai makan-makan di kafe yang ada di seputar pantai Legian, takdir datang menjelma hantu yang merenggut kebahagiaan Kirana. Sebuah ledakan keras disusul tanah bergetar, debu-debu pekat, gema kaki orang berlarian sambil menjerit dan suara-suara orang berdoa dalam panik, sampai ia tak sadarkan diri setelahnya. Semuanya masih rekat di ingatan Kirana.
Kirana baru siuman setelah berada di rumah sakit Sanjiwani. Sekujur tubuhnya nyeri dan dibalut perban. Kirana menanyakan keberadaan mama dan papanya, tapi tidak ada yang menjawab. Hingga akhirnya  Eyang Puteri menyampaikan kabar yang meremukkan hati; mama dan papanya menjadi korban dalam ledakan bom di Legian.
Kadang-kadang sejak peristiwa pilu itu, Kirana masih bertanya; mengapa di dunia ini ada orang-orang yang tak mempunyai hati nurani. Mereka tega memisahkan seorang anak dengan orang tuanya mengatasnamakan agama. Bukankah agama selalu mengajarkan hal-hal yang mulia, lalu kenapa orang-orang itu berbuat aniaya. Tuhan seperti apa yang mereka puja? Pertanyaan itu kerap menghantui benak Kirana.
“Kau harus merelakan takdir yang telah digariskan Hyang Widhi kepada kita," Kirana.
Eyang Puteri selalu menasehati Kirana jika ditemuinya cewek itu melamun sendirian—kadang-kadang sambil menangis. Tapi, Kirana tak pernah bisa menuruti pinta Eyang Puteri. Merelakan kepergian mama dan papanya adalah hal tersulit. Entah mengapa, berat sekali bagi Kirana melukar ingatan pada sosok mama dan papa. Jika sudah begitu, Eyang Puteri akan membelai kepala Kirana sampai cewek itu tertidur di pangkuannya.
***

Melupakan kenangan adalah jalan panjang yang melelahkan. Kirana mungkin sudah bisa berdamai dengan ketidakberuntungan itu. Tapi ia masih belum bisa menerima kepergian mama dan papa yang begitu tiba-tiba. Ketika bayangan-bayangan itu hadir menghantui, Kirana tak berdaya. Ia hanya bisa mengalihkan kesedihan-kesedihannya pada kuas dan kanvas lukis.  Beberapa tahun terakhir, melukis sengaja dipilih Kirana untuk mengusir mimpi buruk yang saban malam mendatanginya. Kesedihan telah meninggalkan jejak lebam di dada Kirana. Tragedi itu telah merenggut keceriaan masa remajanya.
Seperti biasa, Kirana menghabiskan waktunya di sanggar lukis milik Bli Wayan di Banjar Penataran, Gianyar. Kirana melesapkan diri ke dalam ayunan kuas di atas kanvas. Noda-noda bekas cipratan cat bertaburan di pipinya yang tirus. Bulan di atas laut yang pekat, pendar keemasan di atas gelombang, siluet perahu meretas lautan, semua komposisi warna tersebut begitu harmoni dalam spektrum yang diracik jemarinya. Semua apa yang dilukiskan Kirana, adalah refleksi kesedihan yang ia sembunyikan. 
"Lukisan yang indah...”
Kirana tersentak. Ia menoleh ke belakang. Seorang cowok berperawakan tinggi dan mengenakan kaca mata bening berdiri. Cowok itu tersenyum padanya. Kirana membalas senyuman itu sekilas, lantas kembali melanjutkan lukisan yang belum dirampungkan.
"Boleh aku menebak?" Cowok di belakang Kirana kembali bersuara. Kali ini seperti ingin memancing obrolan lebih lama.
"Silakan," jawab Kirana tanpa menoleh.
“Kau pasti penyuka karya-karya Affandi atau Raden Saleh? Iya 'kan?"
Kirana sejenak menghentikan gerakan tangannya. Tapi ia tak menatap wajah cowok itu. "Aku pencinta lukisan natural. Bulan adalah objek yang paling aku senangi. Ya, kau benar, aku menyukai lukisan mereka.”
"Sudah kuduga," tukas cowok itu seraya melepas tawa. "Aku juga menyukai bulan.”
"Oya?" seru Kirana seolah sangsi. "Aku boleh balik bertanya?"
"Silakan."
“Bagaimana pendapatmu tentang lukisanku?"
Hening sesaat. Jeda itu memberi kesempatan pada cowok itu memilah kata-kata.
“Aku hanya penikmat lukisan dan sama sekali tidak paham tentang lukisan. Pengetahuanku pada seni lukis masih dangkal. Tapi aku yakin, lukisan dengan gambar bulan di atas laut seperti ini tak perlu berpikir keras untuk menilainya. Ini lukisan yang bagus. Ini lukisan mangata, 'kan?"
"Tak banyak yang tahu istilah-istilah seperti itu. Iya, kau benar. Ini lukisan mangata." Kirana tersenyum dan meletakan palet ke meja kayu di sampingnya. "Namaku Kirana."
"Bayu. Bayu Prakoso," jawab cowok itu sembari menyambut uluran tangan Kirana.
"Oh, maaf tanganmu kotor," seru Kirana.
"Tak apa," jawab Bayu santai. Ia mengelap sisa cat yang berselemong di jari dan telapak tangannya.
Kirana mengangguk dan kembali memunggungi Bayu. Ia melesap lagi ke lukisan bulannya. Bayu masih tegak di belakang, menikmati tarian jemari Kirana yang gemulai menyapu permukaan kanvas. Setelah perjumpaan itu, Kirana dan Bayu menjadi akrab. Benar sekali petuah bijak yang berkata; kesamaan minat akan membuat hubungan lebih rekat. Seperti yang terjadi pada Bayu dan Kirana; mereka menjadi akrab karena masing-masing memiliki minat yang sama terhadap lukisan. Terutama tentang bulan.
***
Baca juga:

Senja itu, Pantai Selukat sepi. Kirana dan Bayu berjalan menyusuri garis pantai bersama sinar senja yang tembaga. Sepanjang senja, Kirana membisu.  Bayu menangkap raut murung di wajah Kirana.
"Aku ingin pergi ke kesana," ucap Kirana memecah kebisuan. Telunjuknya mengarah lurus ke angkasa. Di sepertiga langit, bulan belum sepenuhnya terang. Senja belum tuntas menghabiskan pendarnya. Malam pun masih terlampau muda untuk membuat bulan menyala sepenuhnya.
"Setahuku, selama ini kau hanya senang melukis bulan, belum pernah kudengar keinginanmu ingin pergi ke kesana. Keinginanmu itu terdengar aneh," jawab Bayu.
"Tidak. Keinginan itu tidak aneh. Aku rasa keinginan itu masih wajar."
"Iya mungkin kamu benar. Kenapa kau ingin ke sana?"
"Entahlah, aku merasa bulan adalah tempat yang indah. Setiap melihatnya hatiku damai."
"Emang mau naik apa kau ke sana? Layang-layang?" Bayu menahan tawa.
"Entahlah. Dulu sewaktu kecil aku mengira surga itu ada di sana. Yah, mungkin karena itu aku ingin pergi ke bulan."
Ada kesedihan yang tersemat di nada suara Kirana. Ia menunduk dan menghela napas panjang. Kesedihan berarak di matanyaselayaknya gumpalan awan kelabu yang bersiap menurunkan gerimis. Kirana berjalan ke bibir pantai. Ia menatap bias senja yang perlahan memudar di langit pantai Selukat. Bayu menatap punggung Kirana dengan perasaan iba. Ia sudah mendengar semua kisah muram dalam hidup Kirana. Pukulan takdir membuat cewek itu limbung. Bayu menghampiri Kirana, tegak bersisian dengannya.
"Kau sungguh ingin pergi bulan?" tanya Bayu pelan.
"Ingin sekali..." Kirana menjawab lirih.
"Besok aku akan membawamu ke bulan. Di tempat itu, kau tidak hanya akan menemukan satu bulan. Di tempat itu ada tangga dari cahaya. Tangga itulah yang akan membawa kita ke ke atas sana," bisik Bayu.
***

Siang itu Bayu datang kembali ke sanggar. Seperti hari-hari sebelumnya, siang itu pun Kirana sedang lesap bersama lukisannya.
"Kamu harus ikut aku sekarang, Kirana," ajak Bayu tanpa basa-basi.
"Ke mana?" 
"Ikut saja. A surprise for you."
Kirana belum menjawab saat Bayu menarik lengannya ke sebuah mobil yang terparkir di jalan depan sanggar. Di dalam mobil yang entah milik siapa dan pada siapa Bayu meminjamnya ini, terlintas pikiran buruk di benak Kirana.
“…aku akan membawamu ke bulan. Di tempat itu, kau tidak hanya akan menemukan satu bulan. Di tempat itu ada tangga dari cahaya. Tangga itulah yang akan membawa kita ke ke atas sana."
Bayu pernah mengatakan itu. Entah mengapa Kirana merasa ia salah menangkap maksud Bayu dengan kalimat aku akan membawamu ke bulan-nya. Bukankah itu bisa berarti Bayu menganggapnya mengalami gangguan jiwa atau mungkin Bayu ingin mengajaknya menemui seorang dokter jiwa?
Dokter jiwa! ?
Tubuh Kirana bergetar tiba-tiba. Di sampingnya Bayu duduk dengan tenang tanpa bicara. Hanya ada senyum aneh tersungging di bibir cowok itu. Pikiran buruk itu menghantui Kirana lagi. Mungkin benar dirinya sudah menunjukkan tanda-tanda gangguan jiwa, pikir Kirana muram. Mungkin Bayu betul-betul menganggap dirinya sudah gila.
Cewek itu menelan ludah mendapati kenyataan betapa ia sesungguhnya tak bisa membebaskan diri dari tekanan kesedihan yang selama ini membelenggu. Bahkan Jika ini jalan terbaik untuk menghalau kesedihan, Kirana rela. Ia bertekad akan mengikuti skenario Bayu, semenyakitkan apapun itu. Ia masih ingat begitu banyak cara Bayu mengusir kesedihan di hatinya, namun tak pernah berhasil.
“Tuliskan kesedihanmu di kertas ini. Kemudian biarkan kertas ini terbakar. Asap dari kertas yang terbakar itu akan menyampaikan rasa rindumu. Kerinduan memang selalu menjadi musabab kesedihan. Aku sering merasakannya. Percayalah padaku, Kirana. ini cara paling lucu untuk mengusir kesedihan.”
Kirana tak menggubris perkataan Bayu. "Mungkin dengan kesedihan ini, rasa rinduku akan tersembuhkan," lirih Kirana pelan.
“Kesedihan tak akan pernah menyembuhkan. Jika selama ini kau membiarkan kesedihan mendiami hatimu, maka kesedihan itu akan semakin kuat merampas senyummu. Cobalah tulis kerinduanmu dan bakar kertas itu. Lewat asap yang di terbangkan angin ke angkasa, kata-kata kerinduan itu akan sampai ke mama dan papamu.”
Sekuat apapun usaha Bayu, Kirana tak melakukan apa yang dikatakannya. Ia sudah telanjur menceburkan diri pada lautan kesedihan. Tak ada gunanya membuat semacam penyelamatan konyol seperti ide yang dilontarkan Bayu. Kesedihan telah membuat hati cewek itu bermetamorfosa menjadi sebongkah batu.
“Kita sudah sampai," ucap Bayu memecah lamunan Kirana.
Mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah pelataran rumah bercat biru. Bayu mengajak Kirana turun dan membimbingnya masuk. Dari dalam rumah terdengar tangisan dan celoteh anak-anak. Sementara, di halaman sekelompok anak-anak lain terlihat sedang asik bermain. Ada yang bermain lompat tali, ada juga yang berkejaran sambil berjerit-jeritan ceria.
Di beranda depan, seorang wanita berpakaian putih dan berwajah teduh sedang menimang seorang balita. Beberapa balita lain terlihat sedang bermain dan ditemani dua wanita berpakaian sama dengan wanita di beranda. Pakaian mereka mengingatkan Kirana pada suster-suster di rumah sakit. "Inikah rumah sakit jiwa itu?" tanya Kirana pasrah.
Kirana bingung dengan keadaan yang dijumpainya. Bayu melangkah mendekati sekelompok anak kecil yang sedang asik bermain. Kirana menoleh kiri-kanan mencoba mengenali tempat itu.
"Selamat datang di rumah bulan, Kirana," kata Bayu lembut.
Kirana tak mengerti. Ditatapnya Bayu penuh tanda tanya.
"Rumah bulan ini adalah rumah yang dihuni anak-anak seperti kita. Anak-anak bulan. Dari sinilah aku berasal."
“Maksudmu?" tanya Kirana masih tak memahami.
Bayu tak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu memanggil sekelompok anak kecil yang tengah bermain. Anak-anak itu mendekat dan memandangi wajah Kirana. Mereka semua tersenyum. Kirana membalas senyum mereka sedikit canggung.
"Ucapkan selamat datang untuk Kak Kirana," kata Bayu pada anak-anak kecil yang kemudian menirukannya.
"Selamat datang di rumah bulan, Kak Kirana. Kakak tak akan sendiri lagi, kami akan menjadi teman kakak."
Kirana menatap Bayu, lalu beralih pada gadis kecil di hadapannya. Gadis kecil dengan rambut diikat menyerupai ekor kuda itu meraih jemari Kirana dan meletakkan setangkai bunga matahari.
“Bunga ini untuk Kakak," ucap gadis kecil itu dalam nada yang terdengar lucu. Matanya berbinar membola. "Jangan sedih lagi ya, Kak.”
Kirana merengkuh tubuh mungil itu dan mendekapnya. Airmata Kirana nyaris tumpah. Keharuan menyerbak di dadanya. "Terima kasih, Sayang," ucap Kirana. Gadis kecil itu mengangguk.
"Aku sengaja meminta bantuan anak-anak ini untuk menyiapkan kejutan untukmu. Aku tak ingin kamu larut dalam kesedihan dan merasa sendirian," kata Bayu di samping Kirana. "Banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya dengan beragam alasan atau tanpa alasan sama sekali. Namun itu bukan alasan untuk melarutkan diri dalam kesedihan. Banyak yang serupa kita. Kita tak pernah sendirian di bumi ini, Kirana."
Tangis haru Kirana akhirnya meruah. "Terimakasih, Bayu. Maafkan jika selama ini aku telah menjadi teman yang selalu bersedih. Aku tak tahu jika kau juga yatim piatu sepertiku.”
Bayu tersenyum. "Tak apa. Aku akan ada di setiap kesedihanmu, Kirana. Kami semua," jawab Bayu sambil merengkuh bahu gadis kecil yang tadi memberi bunga matahari untuk Kirana.
Kirana menoleh kiri-kanan. Anak-anak, suster-suster, semua yang ada di rumah itu menatapnya dengan senyum. Perasaan bahagia terasa hangat mengguyur dada Kirana. Dan sekarang ia baru menyadari bahwa Bayu benar, ia tidak sendirian di bumi ini. Di rumah bulan ini, kesedihan yang selama ini betah bersemayam di relung hati Kirana, telah menguap ke udara. (*)

* Pernah tayang di majalah GADIS
Share:

Rabu, 17 September 2025

Perempuan Bernama Dewi


"Aku mendapat tawaran pekerjaan," ucap lelaki itu pada istrinya. Saat mengatakan itu matanya menerawang ke langit-langit kamar. Suami istri itu berbincang sambil berbaring. Berbincang sebelum tidur adalah kebiasaan yang selama ini mereka lakukan. 

"Pekerjaan apa?"

"Aku bertemu teman lama dan ditawari bekerja di perusahaannya."

"Oh, syukurlah, setidaknya kita bisa sedikit lega. Kamu juga sudah cukup lama menganggur.”

Lelaki itu bangun, tak memedulikan sindiran istrinya. Ia sudah cukup kebal dengan kenyinyiran istrinya perihal kesulitan ekonomi keluarga mereka. Sebagai suami, ia sudah cukup bersabar menerima perilaku istrinya, walau terkadang sempat terbersit untuk menyakiti perempuan itu--bahkan membungkam mulutnya selamanya.

"Tapi aku bingung," katanya seraya duduk memeluk lutut. Istrinya ikut bangun dan menatap heran.

"Bingung kenapa?"

"Kamu masih ingat Dewi?"

Perempuan itu mengerutkan kening. Ia mengingat satu persatu orang-orang yang bernama Dewi dalam hidupnya. Teman sekolah, teman kuliah, kerabat, kenalan dan beberapa perempuan yang bernama Dewi, tapi ia betul-betul lupa, sebab ada puluhan perempuan bernama Dewi yang ia kenal di masa lalu.

"Kamu lupa?" tanya lelaki itu dan istrinya mengangguk. "Dewi Rukmini."

Seperti roket, ingatan perempuan itu melesat ke masa lalu. Ia ingat Dewi, Dewi Rukmini, gadis berwajah manis dengan rambut ikal sebahu dan tubuh semampai--setidaknya dua ciri-ciri itu yang paling diingatnya. Sudah hampir 12 tahun sejak mereka berpisah. Ia tak banyak mengetahui kabar tentang Dewi, sedikit yang ia tahu, Dewi telah menikah dan tinggal di luar negeri bersama suaminya yang berdarah Belgia.

Dari sekian ingatannya tentang Dewi, ada satu yang membuatnya terhenyak: Dewi menyukai suaminya. Pada masa-masa kuliah, suaminya adalah bintang kampus. Selain ia, banyak gadis-gadis yang jatuh hati dan salah satu yang paling getol mengharap cinta suaminya adalah Dewi. Bahkan, Dewi pernah terang-terangan mengungkapkan perasaannya dan perasaan itu ditolak dengan halus, sebab suaminya lebih memilih ia untuk dijadikan istri.

"Kamu ingat?" Pertanyaan itu membuyar lamunannya. Ia mengangguk.

"Apakah yang kamu maksud, Dewi teman kuliahku dulu?"

Lelaki itu mengusap wajahnya, kemudian mengangguk.

Beragam kemungkinan coba dibaca oleh perempuan bermata tajam itu. Dewi menawarkan pekerjaan pada suaminya tentu tidak cuma-cuma. Ia rasa sampai detik ini Dewi masih menyimpan perasaan itu untuk suaminya. Membayangkan itu, tengkuknya dingin. Ia takut Dewi akan merebut suaminya atau justru suaminya yang akan tertarik dengan Dewi dan meninggalkannya.

"Aku bisa menolaknya kalau kamu tidak setuju.”

Ia berpikir sejenak. Sebenarnya memang itulah yang ia mau. Suaminya menolak tawaran Dewi dan mencari pekerjaan lain, namun mencari pekerjaan di zaman yang serba sulit seperti sekarang tidaklah mudah. Kesempatan baik tidak akan datang berkali-kali. Lagi pula waktu berbelas tahun, pasti membawa perubahan besar pada Dewi, harapnya. Tapi sebenarnya ia bukan sedang berharap, melainkan sedang mendamaikan perasaan yang menghasut pikirannya.

Perempuan itu kebingungan. Satu sisi ia cemburu dan takut jika praduga di hatinya menjadi nyata, namun di sisi yang lain, kondisi ekonomi rumah tangga mereka sedang terjepit. Kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan biaya sekolah anak-anaknya tentu tidak bisa ia korbankan demi perasaannya sendiri. Ia tak mau menjadi ibu yang buruk untuk anak-anaknya--meski ia tak yakin selama ini menjadi istri yang baik untuk suaminya.

"Bagaimana menurutmu?"

Ia mengembuskan napas, lalu menatap lekat mata suaminya, "Aku tidak keberatan. Aku percaya padamu, Mas."

Perempuan itu membuang jauh-jauh pikiran buruknya dan menaruh kepercayaan penuh pada suaminya. Pernikahan mereka sudah menginjak tahun ke sepuluh, sudah banyak ujian yang mereka lalui dan ujian kali ini pasti bisa mereka lalui lagi.

***

Baca juga: Rumah Bulan


Sejak suaminya diterima di perusahaan Dewi, kondisi ekonomi rumah tangga mereka berangsur membaik. Bahkan Dewi tak jarang berkunjung ke rumahnya. Jalinan persahabatan antara ia dan Dewi pun kembali tersambung. Ia sebenarnya cukup senang bertemu lagi dengan Dewi, tapi mendapati kalau status Dewi yang sekarang menjanda, sangat mengganggunya--lebih tepatnya menghantui benaknya.

Kedekatannya dengan Dewi memang tidak serapat masa-masa kuliah dan saat-saat mereka masih lajang. Banyak perubahan yang memaksa mereka untuk menghormati batas-batas yang ada. Meskipun rasa curiga dan cemburu masih berkedip di hatinya, namun ia tak ingin berlarut-larut dengan perasaan itu. Dewi sahabatnya, mustahil tega menusuknya dari belakang, harapnya. Tapi, lagi-lagi, sebenarnya ia bukan sedang berharap, melainkan sedang mendamaikan perasaan yang menghasut pikirannya.

Ia bisa bernapas lega, karena sejauh ini Dewi sama sekali tidak menunjukkan rasa sukanya seperti dulu. Kedatangannya hanya diisi cerita-cerita nostalgia dan berbagi pengalaman semasa ia tinggal di Belgia. Dewi masih seperti sahabatnya yang dulu, periang, penuh canda dan sering membuatnya tertawa--meskipun perasaan tak nyaman itu sering muncul tiba-tiba dan membuat tawanya terasa hampa dan sumbang.

“Kamu enak, dengan suami sebaik itu dan anak-anak yang lucu, hidupmu pasti bahagia." Begitu awal percakapannya dengan Dewi di suatu siang yang sedikit terik.

“Ah, lebih bahagia kamu, Wi. Hidupmu berkecukupan dan semua kebutuhan hidup terjamin.”

Dewi hanya menanggapi dingin. "Sejak suamiku meninggal, aku merasa kebahagiaan tidak ada lagi dalam hidupku."

"Kenapa kamu bicara seperti itu?"

"Yah begitulah," Dewi lalu melanjutkan kalimatnya tanpa menoleh. "Aku masih mencintai suamiku, aku masih belum puas merasakan kebahagiaan bersamanya, bahkan kami tak memiliki anak dari buah pernikahan kami."

"Kamu tidak ingin menikah lagi?"

"Kenapa?" Dewi menautkan alis.

Kini pandangan mata mereka beradu. Perasaannya berdenyar aneh, ada sesuatu yang disimpan Dewi darinya, entah apa, ia hanya bisa menduga-duga.

"Kupikir, usiamu masih muda dan tidak ada salahnya jika kamu membuka hatimu untuk laki-laki lain."

Ia berpaling, menyembunyikan kegundahan di wajahnya dengan berpura menatap televisi yang menyala di ruang tamu. Berita tentang penemuan mayat di daerah pinggiran kota sama sekali tidak menarik baginya.

Dewi tertawa kecil. "Aku merasa belum menemukan laki-laki yang tepat untuk menggantikan almarhum suamiku."

"Sampai sekarang?"

"Yah, sampai sekarang."

"Bagaimana ka--kalau ... suamiku?"

Ia berusaha sekuat mungkin menindih gurat risau di wajahnya, tapi getar suaranya jelas terdengar.

"Apa?" Dewi menatapnya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Maaf saja. Kalaupun kamu mengijinkan, aku tidak akan mau berbagi ranjang dengan sahabatku sendiri."

"Bukankah dulu kamu juga mencintainya?"

Dewi tertawa. "Itu dulu. Masa-masa itu telah berlalu."

Ia tertegun, bingung, antara lega atau justru semakin curiga. Mungkinkah Dewi bersungguh-sungguh dengan perkataannya atau sekadar berpura-pura agar ia tidak curiga dan menunggu waktu yang tepat untuk merebut suaminya?

***


Minggu siang itu Dewi datang lagi. Suaminya mengajak kedua anak mereka berlibur ke kebun binatang, ia tidak ikut karena sedang tidak enak badan. Ia memilih rebahan di kamarnya dan saat itulah ia mendengar pintu diketuk. Dari balik gorden, ia melihat sosok Dewi telah berdiri di muka pintu.

"Masuk," ucapnya sembari membenahi rambutnya yang acak-acakan, ia belum mandi pagi ini, badannya meriang dan itu membuatnya malas bersentuhan dengan air.

"Kamu kenapa?" Dewi memperhatikan wajahnya yang terlihat pucat. "Kamu sakit?"

Ia melangkah ke kursi tamu dan duduk, diikuti Dewi. "Iya nih, badanku tidak enak," jawabnya sambil memijat belakang lehernya.

"Wah padahal aku mau mengajakmu pergi." Dewi meletakkan tasnya di atas meja dan duduk seraya menyilangkan kaki jenjangnya.

"Ke mana?"

“Jalan-jalan aja, refreshing akhir pekan." Dewi tersenyum penuh arti. "Sekalian bikin kejutan untuk suamimu, kamu lupa? Dia kan ulang tahun hari ini?"

Ia menepuk keningnya, "Ah, kok aku bisa lupa ya?"

"Aku tahu dari facebook-nya, makanya bikin akun facebook, emak-emak juga harus melek internet dong. Oh ya, mana suami dan anak-anakmu? Kok tidak kelihatan?" Dewi mengulum senyum dan melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.

"Ah. malas, Wi, ngurusin anak-anak saja sudah repot, mana punya waktu aku facebook-an. Ia tersenyum kecut. "Suamiku mengajak anak-anak ke kebun binatang."

"Sudahlah, yang penting kamukan tidak telat memberi surprise untuk suamimu itu." Dewi mengibaskan tangan, lalu menatapnya. "Ayolah, mumpung aku lagi tidak ada kegiatan, sekalian aku bantuin kamu bikin kejutan, gimana?"

Dulu, saat masih pacaran ia selalu ingat ulang tahun suaminya, begitu pun sebaliknya. Terakhir kali mereka merayakannya sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Sungguh, ternyata sudah cukup lama ia tidak merayakan moment bahagia itu bersama suaminya. Setelah menimbang sejenak, akhirnya ia memutuskan, tidak ada salahnya untuk menuruti ide yang disarankan Dewi.

"Oke, aku mandi dulu ya?" Ia berdiri, lalu melangkah meninggalkan Dewi seorang diri di ruang tamu.

"Oke, siip, jangan lama-lama ya."

Sepeninggal perempuan itu, Dewi merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah handphone. "Iya, halo, iya sebentar lagi, dia masih mandi. Tunggulah, mungkin setengah jam lagi kami sampai ke situ."

Dewi mematikan handphone-nya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia lantas berdiri dan berjalan ke arah dinding. Di sana banyak tergantung foto-foto keluarga. Raut wajah Dewi mendadak murung dan beberapa detik kemudian mata perempuan itu berkilat--seperti ada nyala api membara dari tatapannya.

"Ayo, aku sudah siap."

Lamunan Dewi buyar. Perempuan yang ditunggunya sudah tampil rapi di hadapannya. Diam-diam Dewi mengagumi kecantikannya, walau sudah memiliki dua anak, tapi penampilan perempuan itu masih selayaknya gadis muda.

"Kamu cantik sekali, memang tidak salah dia memilihmu," ucap Dewi disusul senyuman yang agak kaku. Perempuan itu hanya tersipu mendengar pujian Dewi.

Ia melangkah mengikuti Dewi menuju mobil yang terparkir di jalan depan rumahnya. Saat berpapasan dengan seorang tetangga, ia mengatakan bahwa mereka hendak berbelanja dan ia menitipkan kunci rumah agar bila nanti suami dan anak-anaknya pulang tidak perlu bertanya-tanya perihal keberadaannya.

Perempuan itu duduk di samping Dewi yang menyetir mobil. Dewi selintas melirik ke arahnya dan tersenyum. Mobil sedan hitam itu kemudian melaju perlahan meninggalkan komplek perumahan tempat ia tinggal bersama  suaminya selama hampir sepuluh tahun berumah tangga.

Di sebuah warung pinggir jalan tiba-tiba Dewi menghentikan laju mobilnya.

"Kenapa berhenti, Wi?" Ia bertanya heran.

"Aku haus, tunggu sebentar ya, aku mau beli minuman."

Dewi segera turun dari mobilnya dan melangkah menuju warung yang dijaga oleh seorang laki-laki bertubuh jangkung. Ia memperhatikan dari balik kaca mobil. Dewi terlihat berbincang sesaat dan sesekali melihat ke arahnya. Lelaki itu menyodorkan dua botol air mineral dan setelah memberikan selembar uang, Dewi pun kembali ke mobil.

“Nih, buat kamu satu."

Ia mengambil botol air mineral yang disodorkan Dewi dan langsung meminumnya. Mobil pun kembali melaju menyusuri jalanan yang sedikit lengang siang itu. Akhir pekan memang membuat jalan di perkotaan sepi.

"Kita mau ke mana?"

"Kita beli bahan-bahan makanan dulu, terus pulang dan masakin makanan kesukaan suamimu."

Ia hanya mengangguk. Saat anggukan terakhir, kepalanya tiba-tiba terasa berat. Ia mengerjap-kerjapkan matanya. Bayangan tubuh Dewi menjadi dua. Beberapa detik setelah itu, ia merasa pusing dan rasa kantuk hebat menyerang biji matanya. Perempuan itu lantas memejam, lalu terdengar deru halus dari mulut dan hidungnya. Perempuan itu tertidur pulas di samping Dewi yang masih asyik menyetir.

Mobil sedan hitam itu melesat menuju jalanan yang mengarah ke luar kota. Di dalamnya Dewi tersenyum misterius dan sesekali tertawa. Perempuan di sampingnya masih tergolek. Botol air mineral yang tadi diminum oleh perempuan itu isinya sudah tumpah dan membasahi baju dan rok yang dikenakannya.

Sekitar setengah jam menyusuri jalan raya, Dewi lalu mengarahkan mobilnya ke jalanan yang di kiri-kanannya tumbuh semak belukar dan kebun karet. Laju mobil sedan hitam itu baru berhenti tepat di depan sebuah bangunan besar yang terletak di atas bukit. Dewi menekan klakson berkali-kali. Seorang lelaki dengan topi kupluk tergopoh menggeser pagar besi kokoh yang tingginya sekitar tiga meter.

Cepat bawa perempuan itu ke kamar tamu. Dewi menunjuk ke arah perempuan yang tadi tertidur lelap. Lelaki bertopi kupluk mengangguk dan langsung melaksanakan perintah Dewi.

Tubuh perempuan itu diletakkan di atas ranjang. Dengan isyarat kibasan tangan, Dewi memerintahkan lelaki bertopi kupluk itu keluar kamar. Ia langsung membuka laci dari lemari kayu yang terletak di sudut kamar. Dari laci tersebut Dewi mengeluarkan seutas tali panjang dan segulung lakban hitam. Dengan kedua benda itu, ia mengikat tangan dan kaki perempuan itu dan menutup mulutnya dengan lakban. Setelah dirasa cukup kuat, Dewi meraih handphone di tasnya.

"Cepatlah. Ia sudah aku amankan, aku sudah tidak tahan lagi merayakan pesta ini sama kamu." Dewi tertawa cekikikan dan meraba-raba tubuhnya sambil menggeliat-geliat nakal.

Dari seberang sambungan telepon terdengar jawaban, "Iya sayang, sebentar lagi aku sampai ke sana. Tadi setelah dari kebun binatang, anak-anak kutitipkan ke neneknya. Aku juga sudah tidak sabar ingin membakar perempuan sialan itu!”

"Kamu memang pintar, kamu tidak akan salah memilihku."

Dewi tertawa dan kali ini lebih keras, sementara perempuan tadi masih tertidur dengan kaki dan tangan terikat serta mulut tertutup lakban. Di atas meja rias, tak jauh dari ranjang, tergeletak sebilah pisau dan satu botol air mineral, tapi isinya bukan bening, melainkan kuning seperti bensin. (*)


Muara Enim, Sumatera Selatan, 17 Oktober 2014

Share:

Advertisement

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels