Semesta adalah akuarium kata-kata dan kita adalah ikan-ikannya....

Selasa, 25 November 2025

Melati Oh Melati


       Jika ada yang bertanya padaku, apa yang paling kubenci di dunia ini, maka pasti akan kujawab; namaku sendiri, Melati. Aku tak menyukai nama Melati, sebab nama Melati adalah luka. Riwayat yang tersemat padanya hanyalah senarai benci dan duka cita.
        Sejak kecil, aku terkucil. Tidak ada anak lelaki yang mau bermain denganku, sebab kata mereka, nama Melati adalah nama banci. Aku tentu tidak terima, sebab julukan itu menginjak harga diriku sebagai lelaki. Ketika olok-olok itu kusampaikan kepada bapak, beliau hanya menjawab, “Itu nama lelaki. Hanya lelaki sejati yang berhak menyandang nama Melati.”
    Sayangnya, jawaban itu tak bisa menghiburku, apalagi menyelamatkan harga diriku. Saat jawaban itu kusampaikan pada teman-temanku, mereka terbahak dan menudingku mengada-ada. Kata mereka, melati adalah nama bunga, dan bunga hanya cocok untuk wanita.
      Saat beranjak dewasa, olok-olok itu tetap membayangiku persis teror seekor hantu. Perihal hantu, aku tak tahu makhluk ini berekor atau tidak, tetapi jelas, hantu lebih beruntung, sebab nama yang tersemat padanya memiliki gema yang membuat gentar siapa saja. Sedang namaku? Sekali lagi, hanya senarai benci dan duka cita.
         Dari segi fisik, sebenarnya tak ada yang menunjukkan diriku ini banci. Tubuhku gempal dan kekar, kurajahi pula lengan kiriku dengan tato seekor naga. Wajahku persegi dan rahangku ditutupi brewok yang membelukar—yang sengaja kupiara agar  bisa menangkis tudingan bahwa aku banci. Tetapi lacur, semua usaha itu sia-sia.
        Lantaran tak tahan, aku pernah berniat mengganti nama Melati dengan nama lelaki sejati. Aku ingin mengganti nama menjadi Bakar bin Abdullah, Edi bin Abdullah, Joni bin Abdullah, atau apa pun asal jangan Melati bin Abdullah. Sayangnya cara itu tetap saja tak berhasil, orang-orang lebih menyukai namaku Melati.
         Ke mana-mana aku menanggung malu. Tidak di kampungku, tidak juga di perantauan, olok-olok nama Melati tidak bisa aku hindari. Aku bahkan pernah ditolak ketika mengajukan surat lamaran pekerjaan ke sebuah pabrik konveksi. Alasannya konyol sekali, lantaran namaku Melati dan juga tato naga di lengan kiri.
             “Sebuah kombinasi yang lucu,” kata personalia itu mencibir.  “Namamu Melati, tapi tubuhmu mirip kuli.”
        Jika tak bersabar, ingin rasanya kucekal tenggorokkannya lalu kubanting di atas meja kerjanya, agar ia tahu bagaimana lelakinya diriku ini. Tapi keinginan itu terhenti di dada saja, kenyataannya aku melangkah kalah dari ruang kerjanya, diiringi bahak tawa yang memuakkan di belakang telinga. 
             Nasib yang tak mujur di perantauan, membawaku kembali ke kampung ini. Berbulan-bulan mencari kerja di kota, tak ada satu perusahaan pun yang mau menerima. Jangan tanya apa sebabnya. Nama yang tak henti-henti merundungku dengan kesialan demi kesialan itulah penyebabnya.
              Kini, usiaku menginjak angka 25 dan bapak pun sudah kian menua. Setiap pulang kerja, beliau sering mengeluh separuh badannya mati rasa, asmanya kambuh akibat terlalu sering terpapar angin malam. Biasanya, usai mengeluh, beliau tertidur di kursi rotan dengan tubuh menguarkan aroma tuak.
          “Dulu bapak kerap menyambukimu dengan ikat pinggang hingga punggungmu luka lebam. Masih ingat?” tanya bapak pada suatu pagi.
                 “Tentu. Agar aku jadi lelaki sejati.”
          “Sekarang kau sudah jadi lelaki sejati,” ujar bapak memerhatikan tubuh dan penampilanku. “Tadi malam aku sudah meminta pada Kang Darmadi, agar kau menggantikanku menjadi penjaga di lokalisasi. Kau mau, kan?”
       Aku langsung mengangguk. Tak mungkin pula kutolak, karena kulihat tubuh bapak yang mulai ringkih itu, tak patut dipaksa bekerja terus-terusan. Aku harus tahu diri. Oleh karena itu, tak perlu berpikir dua kali, langsung kusambar tawaran itu. Lumayanlah, untuk mengusir rasa bosan hari-hariku sebagai lelaki pengangguran.
***
Baca Juga: Tenung

         Malam itu adalah malam ke tujuh aku menggantikan pekerjaan bapak, menjadi petugas keamanan lokalisasi Sedap Malam. Aku menyukai pekerjaan ini. Bekerja di dunianya para lelaki membuatku merasa menjadi lelaki sejati. Apabila ada yang tak kusukai, itu hanyalah para pengunjung kedai Mak Hindun yang selalu mengolok-olokku. Dan bahan olok-olok itu tentu saja namaku. Melati.
          “Kau selalu murung, Melati,” tegur Mak Hindun sambil meletakkan segelas penuh tuak yang menguarkan aroma menyengat ke hadapanku. “Berapa kaujual senyummu itu, sampai pelit betul kau memberikannya?”
            Aku mendengus tak acuh. Mak Hindun terkikik geli, disusul gelak tawa para pengunjung. Aku hapal betul siapa saja pengunjung yang paling sering mendatangi lokalisasi Sedap Malam ini, dan juga menjadi pengunjung tetap kedai tuak Mak Hindun. Kang Somad, Kang Gafur, termasuk Kang Darmadi kepala keamanan lokalisasi.
           “Bisa-bisanya bapakmu memberi nama itu,” cetus Kang Somad sembari mengerling padaku. “Kalau kaupoles bibirmu itu dengan gincu, mungkin akan ada lelaki yang mau menggerayangimu malam ini.”
          Serentak terdengar tawa membahana mendengar lelucon Kang Somad. Aku diam saja, sengaja mengacuhkan ledekannya. Tetapi rupanya, lelaki itu semakin kurang ajar dengan mulutnya. Rasanya ingin kutembus perut buncitnya dengan pisau di balik jaketku agar ia diam. Tapi sebisa-bisanya, kuredam keinginan itu.
           “Kau yakin ada yang doyan dengannya, Somad?” celetuk Kang Gafur, ditimpal tawa bergelak Kang Darmadi dan Mak Hindun. “Lihat muka anak Abdullah ini, kurasa mirip betul dengan ibunya.”
      “Anak ini lumayan juga,” cetus Mak Hindun membelaku. “Kalau aku masih muda, aku mau jadi istrinya.”
       “Tapi sayang, kau sudah tua,” tangkis Kang Somad dan lagi-lagi mereka tergelak bersama. “Dan namanya adalah Melati. Nama ibunya sendiri.”
              Raut muka Mak Hindun serta merta berubah. Kang Gafur dan Kang Darmadi berpura-pura tak mendengar ucapan Kang Somad. Tiga orang itu adalah pekerja paling lama di lokalisasi Sedap Malam ini. Dari perubahan air muka mereka, aku menangkap sesuatu yang ditutupi.
         “Ada apa memangnya dengan perempuan bernama Melati?” tanyaku hati-hati.
        “Betul kau belum tahu?” Lelaki itu bertanya balik. Matanya mengerjap dan alisnya bersijingkat seakan mempermainkan rasa penasaranku.
         “Sudahlah, Somad,” bujuk Mak Hindun agar lelaki itu tak melanjutkan ucapannya.
              “Sudah terlambat,” balas Kang Somad dengan sorot mata sinis ke arahku. “Anak ini perlu tahu rahasia yang disimpan rapat-rapat oleh bapaknya.”
        “Katakan saja,” sentakku tak sabar. “Jangan bertele-tele.”
          “Ibumu memang pelacur. Bapakmu menikahinya saat ia sudah mengandungmu lima bulan,” jawabnya sambil memantik rokok yang baru dirogohnya dari saku. “Itulah kenyataannya. Kau boleh tanyakan itu pada Abdullah kalau kau tak percaya.”
         Perkataan Kang Somad membuat darahku mendidih. “Siapa yang kaumaksudkan itu?” tanyaku dengan mata mendelik tajam, menatap mukanya dengan geram. “Ibuku bernama Maimunah. Bukan Melati.”
          “Kau ini lugu atau dungu, heh?” ejek Kang Somad disusul kekeh pendek dari mulutnya. “Kukira kau sudah tahu riwayat itu dari mulut bapakmu dan mulut warga kampung ini. Bapakmu itu adalah pacar Melati, bekas ratu kecantikan di tempat ini.”
           “Jaga mulutmu, bangsat tua!”
      Kang Somad terdiam ketika kepalan tinjuku mendarat mulus di sudut bibirnya. Sorot mata, gurat keras tulang rahang, dan matanya yang menyorot tajam itu, cukuplah sebagai pertanda bahwa perkelahian dengannya tak mungkin bisa kuhindari. Ia memburuku dengan bangku kayu dan berniat menghantamku. Aku berkelit dan menantangnya di tanah lapang, di depan kedai Mak Hindun.
           Aku mencabut pisau yang terselip di pinggang. Jerit histeris para penghuni lokalisasi tak membatalkan niatku untuk memberi lelaki itu pelajaran berarti. Kusabetkan pisau ke lehernya. Kutikamkan pula ke dadanya. Darah segar menyembur. Lelaki itu terkapar dan aku berdiri dengan tubuh gemetar.
***
Baca juga: Ngaruh Rasan

          Atas apa yang telah kuperbuat, sang jaksa mengganjarku tujuh tahun penjara. Bapak datang menjenguk setelah satu minggu aku menjalani masa hukuman. Ia tersenyum muram ketika kuceritakan semua musababnya. Ia memandangiku lama sekali, seakan-akan menakar akibat yang akan kuterima apabila ia menyampaikan cerita sebenarnya.
          “Ini terakhir aku bertanya, apa arti nama itu?” tanyaku putus asa. “Apa benar aku ini anak pelacur?”
         “Kunamai kau Melati agar kau selalu ingat dari mana kau berasal,” kata lelaki itu dengan tatapan dingin. “sekarang kau telah membuktikan kalau kau adalah lelaki sejati, Melati. Kau memang anak pelacur, tapi bukan berarti kau bisa dihina! Di neraka sana, ibumu pasti bangga!”
          Di dalam jeruji, aku hanya bisa ternganga. Tak ada hasrat lagi untuk bertanya. Lantai yang kupijak seakan runtuh. Dinding penjara seakan melebur kemudian menguburku hidup-hidup. Aku terhenyak dalam kegamangan. Di luar jeruji, bapak tertawa. Aku berusaha menjangkau lehernya, mencoba mencekik batang tenggorokkannya, tapi tak bisa. Gema tawanya semakin lama semakin jauh, memantul berulang-ulang sepanjang lorong penjara. (*)


Catatan: cerpen ini pernah tayang di harian Solopos, edisi Minggu, 30 Juni 2019
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu di sini....

Advertisement

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels